Mohon tunggu...
Moh. Samsul Arifin
Moh. Samsul Arifin Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka membaca dan menulis apa saja

Saya suka menulis, dan membaca apa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Harga Diri "Tukang Obat"

25 Desember 2020   20:20 Diperbarui: 25 Desember 2020   20:39 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belum habis paket data kita untuk membaca viralnya kasus video mirip Gisel, kini tiap beranda disesaki kata-kata Nikita Mirzani yang menyebut Habib Rizieq sebagai 'Tukang Obat' dalam instagram story-nya dan 'serangan balik' Ustadz Maaher At-Thuwailibi yang menyebut Nikita sebagai 'Lonte' sekaligus tuntutan agar Nikita segera meminta maaf secara terbuka.

Dalam sejarah kasus media massa di Indonesia, selebriti paling sering membuat heboh jagad maya. Sebut saja kasus Inul Daratista, Ujaran Kebencian Ahmad Dhani, Komentar Jerinx tentang IDI dan Konspirasi, dan yang sedang hangat-hangatnya hari ini tentang sebutan 'Tukang Obat' pada Habib Rizieq oleh Nikita Mirzani. 

Sebagai warganet yang baik, realitas tersebut di atas harus ditanggapi dengan hati-hati. Baik kelompok yang pro atau kontra terhadap salah satu pihak, tidak perlu menanggapi dengan amarah dengan turut membudayakan tanggapan yang kian buruk, seburuk apa yang ditanggapinya. Tanggapan yang didasarkan pada opini pribadi di media massa juga menentukan reaksi-reaksi lain yang pada akhirnya hanya memperkeruh suasana, bukan solusi untuk bersama.

Meski tak bisa disederhanakan begitu saja, untuk mempermudah cara memahami peristiwa-peristiwa geger di atas, kita bisa membedakan beberapa kekuatan besar yang ikut andil merebut perhatian masyarakat melalui media massa. Pertama pemerintah, kedua public figure dan ketiga ulama. Dalam kasus Inul Daratista (2017), Ahok selaku Gubernur Jakarta didukung dengan memojokkan ulama sebagai lawan politiknya. Kasus komentar Dhani sebaliknya, dia menyebut Ahok tak layak menjadi Gubernur karena telah menistakan agama. Terkait wabah Covid-19, Jerink musisi papan atas itu menyebut IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai Suruhan WHO dalam mendukung Konspirasi Wabah Virus Dunia. 

Dan kasus 'Tukang Obat'nya Nikita, ulama direndahkan melalui postingan di media sosialnya. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan, public figure mewakili masyarakat yang modern dan menjunjung HAM dalam kebebasan berekspresi, dan ulama yang memiliki ikatan sejarah yang kuat dalam berdirinya Indonesia dan nilai-nilai yang dianut kaum mayoritas merupakan tiga kekuatan yang memiliki massanya masing-masing.

Dalam tulisan ini saya mengajak kita semua dalam menganalisa kasus-kasus seperti di atas dari sudut pandang yang berbeda, bukan sebagai pendukung pemerintah, bukan selebriti dan bukan ulama atau ummatnya, tapi dari sudut pandang tukang obat. Tukang obat tidak ditemukan definisinya dalam KBBI, namun secara umum Tukang Obat adalah -orang yang diasosiasikan- penjual obat-obatan (biasanya obat herbal) di pasar-pasar tradisional. Tukang obat biasa menarik perhatian calon pembeli dengan menjelaskan dan bahkan mempraktekkan keampuhan obatnya dibantu pengeras suara di tengah-tengah keramaian pasar.

Status pekerjaan seperti ini kerap diletakkan sebagai pekerjaan 'murahan' dan mewakili kaum sosial yang ada di garis menengah ke bawah. Kata 'Tukang Obat' yang dialamatkan kepada seseorang tentu tidak hanya terasa 'merendahkan' saja. Sebaliknya, ungkapan tersebut justeru semakin merendahkan derajat tukang obat sendiri. 

Coba bayangkan, kita sebagai anak yang tumbuh dalam kondisi ekonomi pas-pasan, orang tua kita bekerja mengais rejeki sebagai penjual obat di pasar tradisional. Semakin orang marah karena disebut sebagai tukang obat, apalagi didukung massif dengan demo dan hujatan di berbagai media sosial karena seseorang yang didukungnya telah disebut sebagai 'tukang obat', maka otomatis semakin merosot pula predikat tukang obat dalam pandangan masyarakat secara umum. Sementara pekerjaan bukan lagi menjadi hal yang mudah didapatkan. 

Tukang obat pada akhirnya hanya bisa melakukan dua hal, yaitu: 1) dengan terpaksa menerima status sosial yang semakin rendah dalam pandangan masyarakat karena pekerjaannya adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarganya atau, 2) mencari pekerjaan lain yang terlihat 'lebih tinggi' untuk meninggalkan penyematan status rendahan meski harus berusaha lebih keras lagi. 

Kita harus ingat bahwa pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup itu bermacam-macam, baik dari pekerjaan kantoran yang membutuhkan kemampuan menejerial yang baik atau pekerjaan-pekerjaan lain yang mengandalkan kekuatan fisik, semua pekerjaan di mata Tuhan adalah baik bahkan memiliki nilai ibadah jika diniatkan dan dilakukan untuk menghidupi keluarga dan melanjutkan kehidupan, selama pekerjaan tersebut tidak merebut hak orang lain.

Kemajuan jaman dan pendidikan seharusnya diikuti kemajuan pemikiran dan kedewasaan dalam menanggapi isu-isu di media massa. Saya tidak mendukung satu pihak secara politis dalam tulisan ini. Namun harapan yang besar terhadap cara kita berkomunikasi menggunakan media massa. Disitu ada harga diri warganet yang dapat dipelajari, ada harga diri pekerjaan masyarakat yang berhak dilindungi. bukankah kita yang sedang membaca ini juga punya hak untuk dihargai?.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun