Mohon tunggu...
muhammad sadji
muhammad sadji Mohon Tunggu... Lainnya - pensiunan yang selalu ingin aktif berliterasi

menulis untuk tetap mengasah otak

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hutang Negara, Siapakah yang Bayar?

31 Mei 2023   23:06 Diperbarui: 31 Mei 2023   23:12 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung(Sumber: JurnalJabar)

Dua tahun yang lalu, di RT (Rukun Tetangga) komplek rumah tinggal saya, mengadakan pemilihan Ketua RT baru. Terpilihlah orang muda yang baru saja membangun rumah-tangga. Ketika serah terima jabatan yang dihadiri sebagian warga, Ketua RT lama menyampaikan laporan keuangan dan kegiatan yang telah pengurus lakukan. Salah satunya menyebut telah membuat taman dan tempat parkir mobil dan motor yang bisa disewakan. Dia sebutkan bahwa untuk membangun prasarana itu telah melakukan hutang sejumlah biaya dan harus dibayar dengan mengangsur secara bulanan. Lucunya, ketika menyampaikan angka hutang tersebut, Ketua RT yang baru melakukan interupsi dan dengan lantang menyatakan bahwa dia tidak mau bertanggung-jawab untuk melunasi hutang itu. Maka spontan salah seorang anggota pengurus RT lama menyahut :"Biar saya yang akan selesaikan hutang itu!". Karena pernyataan itu, sebagian hadirin ada yang tepuk tangan. Ini saya anggap ada jalan pemikiran yang tidak sehat, pada hal RT yang hanya beranggotakan 72 kepala keluarga saja kok tidak kompak. Saya interupsi dan menjelaskan :"Bahwa kepengurusan RT itu berkesinambungan dengan niat baik dan semangat gotong-royong bertetangga. Hutang yang ada wujudnya berupa taman dan ada yang memberikan kepercayaan memberikan pinjaman, ya harus ditanggung oleh Ketua RT baru beserta jajarannya. Tidak boleh lepas tangan, dan harus kita upayakan untuk segera melunasi atau membereskan!". Penjelasan saya ini kemudian dibenarkan oleh anggota pengurus RT yang lain. Dan terbukti kemudian, hutang itu lunas setelah beberapa bulan dengan sumber uang hasil iuran warga bulanan dan sewa parkir kendaraan yang telah dibangun.

       Ternyata kasus hutang ini juga menjadi persoalan di tingkat nasional atau negara. Menjelang Pilpres 2024, para calon dan pendukungnya saling mengeluarkan kritik dan sorotan kepada pesaingnya. Salah satunya justru dari mantan Wakil Presiden dua kali, Jusuf Kalla. Agaknya dia mendukung salah satu Capres dan baru-baru ini berorasi menyoroti tentang hutang negara. Dia bilang, berhutangnya sih gampang, tetapi melunasinya akan membebani rakyat dan pemerintahan penggantinya. Yang menarik adalah, masak pernah menjabat Wapres dua kali mendampingi dua Presiden yang juga pernah berhutang, kok kemudian berkomentar seperti itu. Apa dia tidak paham dan tidak tahu atau hanya sekedar keceplosan? Pada hal, mestinya dia paham, bahwa pemerintahan yang baik dan benar adalah yang mampu memahami kebutuhan rakyatnya dalam jangka pendek maupun jangka panjang dan berusaha memenuhinya. Maka dengan berhutang adalah salah satu jalan keluarnya. Tentunya, semuanya melalui kajian yang mendalam dan mendapat persetujuan rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

       Ada contoh menarik yang menyangkut berhutang ini. Tetangga saya suatu ketika lulus tes masuk perguruan tinggi terkemuka dan menjadi idaman anaknya. Dia harus membayar SPP sebesar duapuluh lima juta rupiah dan harus segera disetor. Maka dia mengaku gelimpungan untuk mencari pinjaman agar anaknya bisa melanjutkan kuliah sesuai cita-citanya. Tentang membayarnya akan dipikir kemudian, begitu kata hatinya. Dan ternyata keputusannya benar. Anaknya belajar dengan giat dan bersungguh-sungguh sehingga cepat lulus dan langsung mendapatkan pekerjaan yang membanggakan, bahkan sempat dikirim ke Inggris untuk meraih gelar Master di bidangnya. Tetangga saya itu sempat bergumam, coba kalau dulu tidak berani berhutang, akan jadi apa anaknya.

       Contoh lain, debat kusir dengan anak saya yang waktu itu masih duduk di bangku SMA. Sepulang sekolah, di ruang makan dia menyampaikan isu santer yang ramai diperbincangkan di sekolah. Konon katanya, sekarang ini kebutuhan hidup dan perbaikan ekonomi yang dipentingkan rakyat, bukan infrastruktur. Nanti kita-kita ini Pak, yang dibebani untuk membayar hutang. Nampaknya, di sekolahnya ikut arus orang-orang yang menyoroti kinerja Presiden Jokowi yang dinilai banyak hutang. Saya kemudian jelaskan dengan berseloroh :"Bapak dulu ketika berumur tigapuluh lima tahun baru punya rumah sendiri. Caranya dengan berhutang melalui kredit pemilikan rumah (KPR) BTN. Sebelumnya Bapak hidup dengan idekos dan kontrak rumah berpindah-pindah. Baru bisa hidup tenang setelah punya rumah sendiri. Kredit selama limabelas tahun, semula memang terasa berat, tetapi setelah lima tahun kemudian dan seterusnya, besarnya cicilan ternyata tidak terasa karena selalu berusaha kerja baik dan naik pangkat sehingga bisa meningkatkan standar gaji atau penghasilan. Nah, hutang negara juga demikian. Negara tahu kebutuhan rakyatnya untuk bisa maju dan berkembang. Kemudian dia rencanakan, melihat kemampuan kocek lalu bila perlu berhutang dan dilaksanakan pembangunannya. Kita semua harus bekerja giat dan berprestasi dengan memanfaatkan infrastruktur tersebut agar kelak mampu membayar hutangnya. Masak pemerintah membiarkan rakyatnya dalam keadaan kekurangan fasilitas dan infrastruktur sehingga tidak mampu berbuat apa pun dan dalam ketertinggalan. Jadi tugasmu dan kawan-kawanmu untuk rajin belajar, bekerja giat dan berprestasi agar kelak bisa membantu membayar hutang negara secara gotong-royong bersama. Generasi muda jangan hanya bisa tawuran, lontang-lantung apa lagi jadi bangsa pemalas!".

       Saat ini anak saya sudah duduk di semester enam Fakultas Kedokteran. Apabila cepat lulus, maka dengan ilmunya akan bisa membantu menyelesaikan hutang negara melalui pengabdiannya. Dalam hal ini, generasi muda Indonesia agaknya perlu mencamkan pesan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyatakan :"Janganlah ditanyakan apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang bisa kita berikan untuk negara!". Hutang untuk pembangunan adalah suatu keniscayaan. Kita semua harus menanggung secara bersama-sama, dan yang terpenting jangan sampai dikorupsi. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat dan mencerahkan!.*****Bekasi, Mei 2023

Baca juga: Sang Merah Putih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun