Indra juga mengingatkan bahwa pecandu narkoba bukanlah penjahat, melainkan korban yang membutuhkan dukungan dan rehabilitasi, bukan stigma dan diskriminasi. Ia mendorong masyarakat untuk mendukung para pecandu agar mendapatkan layanan rehabilitasi, salah satunya melalui PLATO Foundation yang menjadi Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).
Sesi Kedua: Pencegahan Pernikahan Usia Anak
Selanjutnya, Ibu Soffy Balgies, M.Psi., dosen Psikologi UINSA, membawakan materi tentang pencegahan pernikahan usia anak. Dalam pemaparannya, Soffy menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal perkawinan ditetapkan 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Perubahan aturan ini merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang sebelumnya memperbolehkan perempuan menikah pada usia 16 tahun.
Menurut Soffy, kenaikan batas usia perkawinan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada calon pengantin agar dapat mencapai kematangan fisik, mental, emosional, dan sosial sebelum memasuki kehidupan rumah tangga. Ia menegaskan bahwa perkawinan pada usia anak berpotensi besar menimbulkan dampak negatif yang serius, baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat.
Beliau memaparkan data dari Pengadilan Tinggi Agama Surabaya yang menunjukkan adanya penurunan jumlah dispensasi kawin di Jawa Timur dalam tiga tahun terakhir: pada tahun 2021 tercatat 17.151 kasus, turun menjadi 15.095 kasus pada tahun 2022, dan kembali menurun menjadi 12.334 kasus pada tahun 2023. Meski tren ini cukup menggembirakan, angka perkawinan anak di Indonesia masih tergolong tinggi, bahkan menjadikan Indonesia berada di posisi kedua tertinggi di ASEAN setelah Kamboja.
Lebih jauh, Ibu Soffy menjelaskan bahwa pernikahan usia anak tidak hanya melanggar hak anak sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak, tetapi juga menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2015--2030, khususnya target 5.3 yang menyerukan penghapusan praktik berbahaya seperti perkawinan anak, dini, dan paksa.
Dampak yang ditimbulkan sangat kompleks, meliputi:
Kesehatan: meningkatnya risiko kematian ibu dan bayi, kelahiran prematur, bayi dengan berat badan rendah, serta kekurangan gizi.
Pendidikan: anak perempuan yang menikah dini seringkali kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan, sehingga berdampak pada kualitas sumber daya manusia.
Psikologis dan Sosial: anak kehilangan hak sebagai remaja, berisiko mengalami kekerasan dalam rumah tangga, serta rentan menghadapi diskriminasi gender dan ketergantungan ekonomi.
Antargenerasi: anak yang dilahirkan dari pernikahan usia dini memiliki risiko dua kali lipat meninggal sebelum usia 1 tahun, serta lebih rentan mengalami masalah gizi dan kesehatan.