Mohon tunggu...
Muhammad Rasya
Muhammad Rasya Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Membaca menjadi rutinitas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ayat-ayat Kauniyah: Menginspirasi Penemuan Ilmiah, Bukan Membuktikan Sains

24 Mei 2025   19:50 Diperbarui: 24 Mei 2025   19:47 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Al-Qur'an, bagi umat Muslim, adalah wahyu ilahi yang berisi petunjuk hidup. Namun, di samping ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, etika, dan sejarah, terdapat pula sejumlah besar ayat yang dikenal sebagai ayat-ayat kauniyah. Ayat-ayat ini merujuk pada fenomena alam semesta, penciptaan manusia, hewan, tumbuhan, dan berbagai aspek keajaiban alam. Seringkali, ayat-ayat ini disalahpahami sebagai "prediksi ilmiah" atau "bukti mukjizat sains" yang mengklaim Al-Qur'an telah meramalkan penemuan ilmiah modern. Padahal, pendekatan ini, yang sering disebut sebagai konkordisme, berisiko mereduksi pesan Al-Qur'an dan justru dapat menimbulkan permasalahan teologis maupun ilmiah.

Pandangan yang lebih tepat adalah bahwa Al-Qur'an adalah kitab hidayah, sebuah pedoman spiritual dan moral yang mendorong manusia untuk merenungkan ciptaan Allah. Ayat-ayat kauniyah bukan dimaksudkan untuk memberikan detail ilmiah tentang fenomena alam, melainkan untuk membangkitkan kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta. Ketika Al-Qur'an berbicara tentang bintang, gunung, lautan, atau embrio manusia, tujuannya adalah untuk mengarahkan perhatian manusia pada tanda-tanda (ayat) keesaan Allah yang tersebar di alam semesta.

Sebagai contoh, firman Allah dalam Surah Al-Baqarah (2): 164:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan."

Ayat ini tidak memberikan detail tentang meteorologi atau oseanografi. Sebaliknya, ia mendorong manusia untuk berpikir dan merenungkan fenomena-fenomena ini sebagai "tanda-tanda" kekuasaan Ilahi. Dorongan untuk berpikir dan merenung inilah yang menjadi pemicu utama perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam.

Sejarah keilmuan Islam adalah bukti nyata bagaimana dorongan Al-Qur'an ini menginspirasi penemuan. Para ilmuwan Muslim di masa kejayaan Islam, seperti Ibnu Sina (Avicenna) dalam kedokteran, Al-Biruni dalam astronomi dan geografi, atau Ibnu al-Haitham (Alhazen) dalam optik, tidak mencari "bukti ilmiah" dalam Al-Qur'an. Sebaliknya, mereka melihat ayat-ayat kauniyah sebagai undangan untuk menyelidiki alam semesta dengan metode ilmiah yang rigorus.

Ibnu al-Haitham, misalnya, yang sering disebut sebagai bapak optik modern, melakukan eksperimen sistematis untuk memahami bagaimana cahaya bekerja. Ia tidak mencari rujukan eksplisit dalam Al-Qur'an tentang prinsip-prinsip optik, melainkan terinspirasi oleh perintah Al-Qur'an untuk mengamati dan merenungkan ciptaan Allah. Penekanannya pada observasi dan eksperimen, yang merupakan fondasi metodologi ilmiah modern, bisa dilihat sebagai hasil dari dorongan spiritual untuk memahami "tanda-tanda" Allah di alam.

Dr. Maurice Bucaille, seorang ilmuwan dan dokter Prancis yang kemudian memeluk Islam, dalam bukunya The Bible, The Qur'an and Science (1976), memang membahas keselarasan antara beberapa pernyataan Al-Qur'an dengan penemuan ilmiah modern. Namun, penting untuk dicatat bahwa Bucaille sendiri berpendapat Al-Qur'an bukanlah buku sains. Ia lebih menekankan pada tidak adanya kontradiksi antara Al-Qur'an dan sains yang telah mapan, bukan mengklaim Al-Qur'an sebagai sumber penemuan ilmiah. Ia menulis, "Al-Qur'an tidak ditujukan untuk memberikan informasi ilmiah yang terperinci. Fungsinya adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia." (Bucaille, 1976, hlm. 125).

Demikian pula, pandangan sarjana Muslim kontemporer seperti Dr. Zulfiqar Ali Shah dalam karyanya Islam and Science: The Missing Paradigm (2009) menekankan bahwa pendekatan Al-Qur'an terhadap alam adalah untuk menumbuhkan rasa takjub dan kekaguman, yang pada gilirannya memotivasi penyelidikan ilmiah. Ia menyoroti bagaimana Al-Qur'an, dengan lebih dari 750 ayat yang merujuk pada fenomena alam, secara konsisten mendorong Muslim untuk mengamati, merenungkan, dan berpikir.

Mencoba memaksakan Al-Qur'an agar "membuktikan" setiap penemuan ilmiah modern---atau sebaliknya, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara harfiah agar sesuai dengan teori ilmiah terbaru---dapat menimbulkan beberapa masalah:

 -Reduksi Makna Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah teks multidimensi. Mereduksinya menjadi sekadar buku sains akan mengabaikan dimensi spiritual, etis, dan hukumnya yang kaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun