Mohon tunggu...
Dwistaraifa Rasendriya
Dwistaraifa Rasendriya Mohon Tunggu... Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

Seorang mahasiswa yang menganalisa kejadian-kejadian hukum internasional

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyergapan di ZEE atas Global Sumud Flotilla

2 Oktober 2025   22:15 Diperbarui: 2 Oktober 2025   22:13 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak tahun 2009, Israel melakukan blokade laut atas Jalur Gaza dengan alasan mencegah masuknya senjata dan material yang dapat digunakan oleh kelompok bersenjata Hamas (Farrant, 2013). Blokade ini tidak terbatas pada perairan teritorial Palestina sejauh 12 mil laut dari pesisir pantai Jalur Gaza, tetapi juga ditegakkan oleh Israel dengan menyergap kapal-kapal yang diduganya hendak menuju Gaza (Farrant, 2013). Pada tanggal 2 Oktober 2025 dini hari (WIB), Global Sumud Flotilla disergap oleh Israel, 80 mil laut dari pesisir Jalur Gaza (Duggal, 2025). Jarak yang masih termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE), di mana setiap kapal berhak berlayar bebas (freedom of navigation), berdasarkan pasal 58(2) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Pertanyaan hukum yang timbul adalah: seberapa jauh Israel berwenang melakukan penyergapan di zona ekonomi eksklusif Palestina, berdasarkan UNCLOS? Artikel berikut akan dimulai dengan rezim pembagian wilayah perairan berdasarkan UNCLOS, dan pembagian hak negara pantai atas kawasan tersebut, lalu dilanjutkan dengan membahas legalitas penyergapan di ZEE Palestina oleh Israel, sebelum menyimpulkan jawaban atas pertanyaan hukum tersebut.

UNCLOS membagi wilayah perairan ke beberapa zona secara umum, pembagiannya berdasarkan garis pangkal (baseline). Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UNCLOS, baseline ditetapkan dari garis air surut pantai terluar suatu negara. Pertama, terdapat laut teritorial (territorial sea) yang lebarnya maksimal 12 mil laut dari baseline (Pasal 3). Dalam zona ini, negara pantai menjalankan kedaulatan penuh atas ruang udara dan dasar lautnya, walaupun dibatasi hak innocent passage bagi kapal asing tetap diakui. Kedua, di luar laut teritorial terdapat zona tambahan (contiguous zone) yang lebarnya hingga 24 mil laut dari baseline (Pasal 33). Dalam zona ini, negara pantai tidak berdaulat penuh, tetapi memiliki kewenangan khusus untuk mencegah dan menindak pelanggaran hukum bea cukai, fiskal, imigrasi, atau kesehatan yang dilakukan dari atau menuju wilayah teritorialnya. Ketiga, terdapat ZEE yang dapat ditetapkan sejauh 200 mil laut dari baseline (Pasal 57).

Negara pantai memiliki hak berdaulat untuk eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam di perairan atas, dasar laut, maupun tanah di bawahnya. Namun, kebebasan navigasi pelayaran tetap berlaku bagi kapal semua negara. Keempat, di luar ZEE terdapat laut lepas (high seas) yang bersifat res communis, artinya tidak tunduk pada kedaulatan negara mana pun (Papastavridis, 2011). Kapal semua negara menikmati kebebasan laut lepas, termasuk navigasi, penerbangan, riset ilmiah, dan pemasangan kabel serta pipa bawah laut (Pasal 87). Pembatasan navigasi di laut lepas hanya dapat dikenai pembatasan dalam kondisi tertentu yang diakui hukum internasional, misalnya pembajakan (Pasal 100), perdagangan budak (Pasal 99), atau pencegatan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan (Boamah, 2023).

Israel, yang bukan negara bendera dari satupun kapal dari Global Sumud Flottila ataupun negara pantai terkait, tidak berhak untuk mencegat flotilla pada jarak 82 mil laut dari pesisir Gaza. Rezim ZEE UNCLOS hanya memberikan hak berdaulat kepada negara pantai atas sumber daya alam, tanpa mencakup kewenangan pengendalian lalu lintas laut atau penegakan keamanan terhadap kapal asing.

Malah sebenarnya Pasal 58(1) menegaskan bahwa kebebasan navigasi tetap berlaku di ZEE, dan Pasal 92 mempertegas prinsip bahwa yurisdiksi atas kapal di ZEE tetap berada pada negara bendera kapal tersebut. Maka pencegatan oleh Israel merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip exclusive flag state jurisdiction, serta pembatasan kebebasan berlayar yang dijamin oleh UNCLOS. Pengecualian yang diakui UNCLOS seperti penegakan hukum perikanan oleh negara pantai (Pasal 73), atau tindakan terhadap pembajakan di laut lepas (Pasal 100) tidak relevan dengan keadaan ini. Maka dari perspektif UNCLOS semata, tindakan Israel tidak dapat dibenarkan dan justru bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.

Israel mendalilkan bahwa tindakannya merupakan bagian dari hak self-defense berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. Namun, UNCLOS tidak mengenal konsep itu sebagai dasar jurisdiksi di laut. Rezim UNCLOS ini dirancang untuk membagi zona maritim dan menetapkan hak negara Pantai, serta negara bendera kapal, bukan untuk memberi justifikasi sepihak untuk tindakan militer. Dengan kata lain, meskipun self-defense adalah argumen dalam hukum internasional umum, ia tidak relevan dalam diskusi yang terbatas pada UNCLOS.

Terlebih jika argumen self-defense dikeluarkan dari kerangka UNCLOS, posisi Israel masih tetap lemah. Dalam Advisory Opinion on the Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa Pasal 51 hanya berlaku terhadap serangan bersenjata yang berasal dari suatu negara. Maka Israel tidak dapat mengklaim hak self-defense terhadap entitas non-negara di wilayah yang ia duduki (paragraf 139), terlebih terhadap armada kapal sipil yang tidak melakukan serangan bersenjata. Menggunakan standar Mahkamah, dalih self-defense Israel terhadap Global Sumud Flotilla runtuh.

Israel bisa juga memperlebar makna ZEE untuk mencakup pengawasan keamanan. Tetapi Pasal 56 UNCLOS jelas hanya memberi hak berdaulat atas sumber daya, dan Pasal 58 menegaskan kebebasan navigasi. Tidak ada pasal UNCLOS yang memberi Israel wewenang mencegat di ZEE Palestina (dari Gaza). Maka dari pandangan self-defense maupun lewat penafsiran keliru atas ZEE, Israel tidak ada dasar hukum berdasarkan UNCLOS. Pencegatan pada jarak 82 mil laut dari Gaza tetap harus dipandang sebagai pelanggaran freedom of navigation yang menjadi inti dari UNCLOS.

Meskipun Israel bukan pihak pada UNCLOS, rezim ZEE telah menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat semua negara (Sohn, 2014). Di sisi lain, ICJ dalam Nicaragua (paragraf 242) menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan tidak dapat dianggap sebagai intervensi yang melanggar hukum internasional (Ryngaert, 2013). Maka pencegatan Israel terhadap flotilla kemanusiaan di 82 mil laut dari Gaza jelas bertentangan dengan hukum kebiasaan laut maupun hukum internasional publik yang lebih luas.

Maka dapat disimpulkan bahwa pencegatan Israel atas Global Sumud Flotilla di jarak 82 mil laut dari Gaza melanggar UNCLOS dan hukum kebiasaan internasional, memperlemah kebebasan navigasi pelayaran, dan prinsip exclusive flag state jurisdiction. Berbagai pembenaran seperti self-defense berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB tidak berdasarkan hukum. Bisa disimpulkan bahwa solusinya adalah tekanan diplomatik terhadap Israel untuk menegakkan hukum internasional, in casu hukum laut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun