Mengapa wilayah lingkar industri tambang kedua terbesar di Indonesia Kabupaten Sumbawa Barat justru terdapat kemiskinan 13,02 % ?
Diskusi diaspora Ikatan Keluarga Sumbawa (IKASUM) Jakarta, difasilitasi kantor Badan Penghubung Jakarta Jumat (1/9/'23) membedahnya dengan sejumlah data. Mereka terdiri dari profesional dan pelaku industri tambang, staf ahli kementerian dan DPR, media, dll. Berikut ulasannya.
Bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bidang usaha Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) th. 2022 Rp 31,5 Triliun. Bersumber dari pertambangan 19,4 T (terbesar) dan pertanian "hanya" Rp 1,1 T. Sisanya terbagi pada 17 item bidang usaha lain. Artinya apa ?
PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah domestik atau suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).
Begitu dominannya kontsribusi PDRB dari  satu bidang usaha (pertambangan) capai 85%  justru melemahkan bidang usaha yang lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah penyakit Belanda (ducth disease). Multiplier effect terhadap dominasi tambang dan galian tersebut justru tidak berbanding lurus terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat atau dikenal dengan istilah kutukan sumberdaya alam (resources curse) adalah fakta-fakta yang tak terelakkan.
Jika di-zoom lebih dekat lagi, diskusi sampai pada sebuah gambaran bahwa sumberdaya lokal (local content) belanja modal dan jasa yang lebih dari 90% bukan berasal dari lokal. Tetapi belanja di luar daerah. Uang (upah dan gaji) karyawan pun melayang ke luar pulau Sumbawa untuk belanja barang dan jasa. Â Inilah yg disebut dengan fenomena kebocoran regional (regional leakeges)
Jika selama 23 tahun masa produksi tambang di Batu Hijau KSB dengan perkiraan belanja modal (capital expenditure/capex) maupun belanja operasional sehari2 (operational expenditure) rata-rata Rp 25 s/d 45 triliun/tahun (belum dicek data pasti belanja modal PT Amman Mineral/tahun) maka betapa tidak banyak pengaruh terhadap perekonomian lokal. Â
Tahun ini saja belanja modal (capex) AMNT dalam menyiapkan industri pengolahan (smelter) mencapai  USD 31,1 miliar atau setara Rp 45 triliun.  Seberapa besar belanja tersebut berpengaruh terhadap ekonomi dan PDRB secara real? Adalah seberapa besar prosentase belanja di wilayah lokal dan NTB tentunya.
Dalam banyak publikasi perusahaan merasa telah memberikan kontribusi yang significant terhadap ekonomi lokal dan Indonesia umumnya melalui kewajiban2 pajak dan PNBP (royalty) yang memang tidak kecil. Misal royalti, DBH, CSR dan keuntungan bersih perusahaan yang tak kunjung dibayar oleh perusahaan dengan alasan belum ada juklak dari kemen ESDM, hingga penyerapan tenaga kerja lokal yang belum optimal sebagaimana amanat UU Minerba.
Secara normative pemasukan langsung ke daerah tanpa berbuat apapun terjadi dengan sendirinya karena telah diatur oleh UU dan regulasi. Bagaimana Pemda membelanjakan hasil pajak dan PNBP tambang semua masih dalam ruang gelap.
Sebelum beralih dari Newmot ke AMNT saat ini, Newmon pernah mengakomodir pengadaan barang dan jasa dari lokal dengan membuat kesepakatan bersama MoU, dengan supervisi PT Newmont. Namun hal seperti itu tidak jelas kelanjutannya. Apakah masalah modal atau etos kerja? diharapkan akan dibedah lebih jauh lagi pada diskusi2 berikutnya. Â
Diskusi semacam ini akan dilakukan secara rutin dan terbuka untuk siapa saja, guna memberi masukan kepada daerah, diminta atau pun tidak, terutama Kabupaten Sumbawa, di mana titik baru Elang Dodo di Sumbawa Selatan segera memasuki masa eksplorasi. Â
Semata2 memberi masukan dan tidak ingin "cawe-cawe" semacam lembaga penekan untuk mendapatkan sesuatu. Bahwa memang 'ada udang di balik batu'  yakni kepentingan daerah serta  kelangsungan operasional perusahaan dalam hubungan yang sehat dan adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H