Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Rafale dan J-10C Bertemu, Transformasi Kekuatan Udara Indonesia

18 Oktober 2025   10:46 Diperbarui: 18 Oktober 2025   10:46 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jet tempur Rafael dan Chengdu J-10C (Sumber: AI ChatGPT)

Langit Indonesia bersiap menyambut dua naga baja, Chengdu J-10C dari Tiongkok dan Rafale dari Prancis. Dua jet tempur generasi 4.5 ini kini menjadi simbol arah baru kekuatan udara nasional. Setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyetujui alokasi anggaran US$9 miliar untuk pembelian J-10C, perhatian dunia pun tertuju pada strategi udara Indonesia yang semakin dinamis dan berani.

Chengdu J-10C, dikenal dengan julukan Vigorous Dragon, merupakan jet tempur multirole berkemampuan tinggi. Dilengkapi radar AESA, sistem peperangan elektronik, dan kemampuan manuver ekstrem, J-10C menjadi aset penting bagi TNI AU untuk memperkuat dominasi udara di kawasan Asia Tenggara.

Sementara itu, pesanan 42 unit Rafale buatan Dassault Aviation senilai US$8,1 miliar menjadi langkah strategis dalam diversifikasi sumber alutsista. Indonesia kini menjadi satu dari sedikit negara di dunia yang mengoperasikan dua jet tempur elite dari dua blok kekuatan global berbeda, Barat dan Timur.

Langkah ini mencerminkan politik pertahanan bebas aktif yang bertransformasi menjadi kebijakan pertahanan cerdas. Indonesia berupaya tidak berpihak, tetapi tetap memperkuat posisi dalam sistem keamanan kawasan Indo-Pasifik yang kian kompetitif.

Kedaulatan udara bukan hanya tentang siapa yang terbang lebih cepat, tetapi siapa yang berpikir lebih cepat di atas langit yang sama.

Namun pembelian jet tempur tidak boleh berhenti pada euforia simbolik. Tantangan sesungguhnya terletak pada integrasi teknologi, sistem komando, dan pengendalian pertahanan udara berbasis C4ISR (Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance).

Dalam teori Command and Control (C2 System), kekuatan militer modern ditentukan bukan oleh banyaknya aset, melainkan oleh kecepatan dan akurasi alur informasi antara sensor, komando, dan penembak. Jet canggih tanpa sistem kendali real-time hanya akan menjadi kekuatan yang "buta" di medan tempur.

Sejarah mengajarkan hal serupa. Serangan Pearl Harbor pada 1941, tragedi WTC 2001, hingga konflik udara India--Pakistan, menunjukkan bahwa dominasi udara berawal dari keunggulan informasi, bukan sekadar jumlah pesawat tempur.

Dalam simulasi perang modern, Chengdu J-10C bahkan pernah mengungguli Rafale dalam dogfight karena kemampuannya membaca sinyal radar dan memanfaatkan kecerdasan buatan. Pertempuran udara kini bukan sekadar duel kecepatan, melainkan duel algoritma dan data.

Era cyberspace warfare menjadikan setiap pesawat, drone, hingga radar sebagai node dalam jaringan data tempur. Siapa yang menguasai data, dialah yang menguasai udara. Oleh karena itu, TNI AU perlu membangun sistem komando digital nasional berbasis AI dan machine learning.

Investasi dalam J-10C dan Rafale harus disertai pembangunan Networked Air Defense System, yang menghubungkan radar Sabang hingga Merauke. Dengan jaringan itu, setiap ancaman bisa dideteksi, diklasifikasi, dan direspons secara otomatis dan presisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun