Kabar gembira itu datang dari Jakarta pada Jumat, 10 Oktober 2025. Di ruang sidang Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, nama Jepara kembali bergema. Enam warisan budaya dari kabupaten pesisir di utara Jawa Tengah itu dinyatakan lolos dalam sidang penetapan dan direkomendasikan untuk menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2025. Sebuah capaian yang bukan hanya milik Jepara, tetapi juga milik kebudayaan Nusantara.
Batik Jepara, Baratan Kalinyamatan, Horog-horog, Memeden Gadhu, Pindang Serani, dan Ukir Kaligrafi Jepara, enam nama yang masing-masing menyimpan kisah panjang peradaban manusia, laut, dan spiritualitas Jawa pesisiran. Dalam setiap helai kain batik, dalam setiap denting pahat ukir, dalam setiap aroma pindang yang mengepul dari dapur pesisir, tersimpan napas kehidupan yang diwariskan lintas generasi.
Jepara bukan sekadar tanah kelahiran Ratu Kalinyamat dan RA Kartini. Ia adalah laboratorium budaya yang hidup, tempat berbagai unsur tradisi berkelindan antara Islam, Jawa, dan laut. Masyarakatnya tidak hanya mewarisi keterampilan tangan, tetapi juga kebijaksanaan hidup yang menata keseimbangan antara daya cipta, rasa, dan karsa. Dalam konteks itu, pengakuan enam warisan budaya takbenda ini merupakan peneguhan atas eksistensi jiwa Jepara sebagai penjaga warisan kemanusiaan.
Ambil contoh Batik Jepara. Kainnya tak hanya indah dipandang, tetapi juga menyimpan filosofi moral dan spiritual. Motif "Parang Pamor" dan "Ukel" merepresentasikan perjuangan manusia melawan gelombang kehidupan, sementara motif "Sekar Jagad" menjadi simbol keberagaman yang berpadu dalam harmoni. Batik Jepara lahir dari tangan perempuan pesisir yang bekerja dengan keheningan, menjadikan setiap gores malam sebagai doa.
Kebudayaan bukan sekadar benda mati dari masa silam, melainkan denyut kehidupan yang terus bernafas dalam karya, rasa, dan doa. Jepara membuktikan bahwa tradisi tak hanya diwariskan, tetapi dihidupkan kembali dengan cinta dan kesadaran akan akar kemanusiaan.Â
Sementara itu, Ukir Kaligrafi Jepara menampilkan pertemuan halus antara estetika Islam dan seni pahat Jawa. Di bengkel-bengkel kayu yang berbau serbuk jati, para pengukir merangkai huruf Arab menjadi karya penuh spiritualitas. Kaligrafi diukir bukan sekadar untuk keindahan, melainkan sebagai medium tafakur, pengingat akan kedalaman makna dalam setiap huruf, setiap nama Tuhan.
Tradisi Baratan Kalinyamatan menjadi ruang ekspresi religius yang menautkan sejarah Ratu Kalinyamat dengan kearifan masyarakat nelayan. Pawai lentera di malam hari, perahu berhias, dan doa di pesisir menggambarkan rasa syukur dan harapan agar laut tetap memberi kehidupan. Di sini, spiritualitas bertemu dengan ekologi, dan tradisi menjadi bentuk ekologis dari doa.
Lalu ada Horog-horog, kuliner berbahan sagu yang menjadi simbol ketahanan pangan lokal. Dalam kesederhanaannya, Horog-horog mengajarkan makna kemandirian pangan yang mulai dilupakan oleh masyarakat modern. Tradisi pangan ini menunjukkan bahwa kekuatan budaya tidak selalu lahir dari kemewahan, melainkan dari kemampuan bertahan dan beradaptasi dengan alam.
Tak kalah menarik adalah Memeden Gadhu, tradisi membuat boneka sawah yang lebih dari sekadar alat pengusir burung. Ia adalah seni rakyat yang merefleksikan humor, kritik sosial, dan imajinasi kolektif masyarakat desa. Di balik wajah lucu boneka itu, tersimpan pesan ekologis tentang hubungan manusia dan alam, serta simbol kerja sama komunitas dalam menjaga hasil panen.
Dan tentu saja Pindang Serani, kuliner khas yang memadukan kesegaran laut dan rempah pesisir. Hidangan ini adalah kisah diplomasi rasa, hasil pertemuan budaya Tionghoa, Arab, dan Jawa yang berpadu menjadi satu rasa Nusantara. Pindang Serani adalah contoh bagaimana cita rasa bisa menjadi jembatan perdamaian antarbudaya.
Keberhasilan enam warisan budaya ini lolos dalam sidang WBTb 2025 bukan sekadar pencapaian administratif. Ia adalah kemenangan kolektif dari para pengrajin, nelayan, ibu rumah tangga, tokoh adat, dan seniman rakyat. Mereka yang selama ini menjaga bara kebudayaan di tengah arus modernisasi yang deras. Mereka yang memilih setia pada akar, di saat banyak orang berlari mengejar langit.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!