Kekalahan 0-1 Timnas Indonesia dari Irak di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, pada Minggu (12/10/2025) dini hari, menutup perjalanan panjang penuh harapan dalam Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Kekalahan itu tak hanya memupus mimpi menuju putaran final, tapi juga membuka kembali perdebatan besar, ke mana arah pembangunan sepak bola Indonesia di bawah Patrick Kluivert?
Secara statistik, Indonesia mencatat performa menurun sejak era kepelatihan Kluivert. Dari enam pertandingan terakhir, hanya satu kemenangan yang berhasil diraih. Padahal, dengan materi pemain seperti Maarten Paes, Jay Idzes, Dean James, Thom Haye, Eliano Reijnders, Mauro Zijlstra, dan Ole Romeny, hingga Ragnar Oratmangoen, tim ini seharusnya sudah siap bersaing di level Asia. Namun yang tampak di lapangan adalah tim yang kehilangan struktur permainan dan ritme kolektif.
Masalah mendasar yang tampak bukan sekadar taktik, melainkan komunikasi internal. Di level sepak bola modern, komunikasi adalah oksigen dalam sistem permainan. Di bawah Shin Tae Yong, instruksi lapangan dan dinamika ruang antar lini terlihat cair, seperti para pemain memahami filosofi permainan. Kini, di bawah Kluivert, komunikasi itu tampak beku. Saat pemain mulai protes terhadap pelatih, jelas ada friksi dalam ruang ganti.
Dalam sepak bola modern, terutama pasca-era Pep Guardiola dan Jrgen Klopp, komunikasi bukan hanya tentang perintah taktik. Ini soal collective intelligence, kecerdasan kolektif yang tumbuh dari interaksi, pemahaman peran, dan kejelasan misi bersama. Indonesia di bawah Kluivert justru kehilangan bahasa permainan yang menyatukan semua elemen di lapangan.
Baca juga: Patrick Kluivert Gagal Bawa Indonesia ke Piala Dunia 2026, Euforia Naturalisasi Tak Berbuah
Sepak bola bukan sekadar taktik dan formasi, tapi bahasa jiwa yang hanya bisa dimengerti lewat komunikasi dan kepercayaan. Saat bahasa itu hilang, tim kehilangan identitasnya.Â
Patrick Kluivert datang dengan reputasi besar. Sebagai legenda Belanda yang pernah menukangi akademi Barcelona, ekspektasi publik melonjak tinggi. Namun gaya kepelatihannya belum menunjukkan penyesuaian terhadap kultur sepak bola Asia Tenggara. Kluivert tampak membawa sistem Eropa yang rigid tanpa memperhatikan karakteristik pemain Indonesia yang lebih dinamis dan adaptif.
Pola "coba-coba formasi" yang dilakukan Kluivert di hampir setiap laga menjadi sinyal kegamangan strategi. Tidak ada identitas taktik yang jelas. Apakah Indonesia ingin bermain dengan pressing tinggi, transisi cepat, atau build-up dari belakang. Dalam manajemen olahraga modern, perubahan formasi tanpa fondasi filosofi hanya akan memunculkan kebingungan, bukan inovasi.
Ketika seorang pelatih kehilangan arah komunikasi dan kejelasan taktik, pemain kehilangan kepercayaan. Kasus dicoretnya Justin Hubner menjelang laga kontra Irak menjadi potret disfungsi manajemen tim. Padahal, Hubner termasuk pemain dengan disiplin taktik tinggi di klubnya. Keputusan-keputusan emosional semacam ini hanya memperlebar jarak antara pelatih dan pemain.
Di tengah era data dan sport science, keputusan teknis seharusnya berbasis analisis performa, bukan intuisi sesaat. Federasi seharusnya menyiapkan sistem evaluasi kinerja pelatih berbasis Key Performance Indicator (KPI) yang terukur, sebagaimana efektivitas formasi, efisiensi serangan, hingga intensitas pressing. Kegagalan Indonesia menembus Piala Dunia seharusnya dibaca lewat parameter ini, bukan sekadar hasil pertandingan.
Perbandingan dengan era Shin Tae Yong memperlihatkan betapa pentingnya konsistensi filosofi. Di tangan STY, Indonesia memiliki struktur defensif solid dan gaya transisi cepat. Di bawah Kluivert, semua itu menguap. Bahkan ketika menghadapi tim dengan karakter serupa seperti Irak, Indonesia terlihat kehilangan arah dalam membaca permainan lawan.
Fenomena #KluivertOut yang kembali menggema di media sosial bukanlah luapan emosional semata. Ia adalah ekspresi publik yang merasa dikhianati oleh visi besar sepak bola nasional yang tak kunjung matang. Publik melihat bahwa pergantian pelatih yang semula diharapkan menjadi langkah strategis, kini justru menjadi titik balik kemunduran.