Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

MBG dan Pangan Lokal, Saatnya Kembali pada Menu Khas Nusantara

2 Oktober 2025   08:41 Diperbarui: 2 Oktober 2025   08:41 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-ibu di sebuah dapur Satuan Pelaynanan Pemenuhan Gizi (SPPG) (Sumber: infopublik.id)

Indonesia adalah negeri tropis yang dikaruniai ragam sumber pangan. Selama puluhan tahun, nasi seolah menjadi ikon tunggal sumber karbohidrat bangsa. Padahal, di berbagai penjuru Nusantara, jagung, ubi, sagu, hingga pisang telah menjadi bahan pangan utama yang menopang keberlangsungan hidup masyarakat. Ragam ini bukan hanya soal kuliner, melainkan juga soal kesehatan, budaya, dan identitas sosial.

Di Nusa Tenggara Timur misalnya, jagung tidak hanya dikenal sebagai makanan pengganti, melainkan pangan pokok yang sejajar dengan nasi. Jagung yang dikeringkan dan digiling menghasilkan olahan khas seperti bose, jagung titi, hingga bubur jagung. Pola konsumsi tersebut menunjukkan bahwa diversifikasi pangan sejatinya sudah lama hidup di tengah masyarakat, jauh sebelum istilah program makan bergizi seimbang (MBG) diperkenalkan.

Namun, perlu dipahami bahwa menu sehat bukan sekadar soal kandungan gizi, melainkan juga soal kebiasaan makan atau food habit masyarakat. Di Maluku dan Papua, misalnya, papeda dari sagu adalah simbol identitas pangan. Tekstur kenyal dan rasa netralnya cocok dipadukan dengan kuah ikan kuning. Akan tetapi, jika papeda dipindahkan ke meja makan masyarakat Jawa atau Sumatera, mungkin ia tidak akan mendapat penerimaan serupa.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pangan tidak bisa dipaksakan dalam kerangka tunggal. Faktor budaya, iklim, bahkan genetik berperan penting. Studi nutrisi tropis menemukan bahwa perbedaan adaptasi tubuh antar-etnis turut memengaruhi respon terhadap makanan. Contoh nyata adalah kelompok etnis Melayu yang memiliki tingkat intoleransi laktosa lebih tinggi, sehingga mengonsumsi susu formula berperisa kerap memicu diare atau muntah.

Ketahanan pangan Indonesia bukan terletak pada impor gandum atau susu formula, tetapi pada kekuatan pangan lokal, sebagaimana jagung di NTT, sagu di Papua, ubi di Jawa. Menu khas daerah adalah gizi tropis sejati sekaligus identitas sosial yang menjaga masyarakat dari homogenisasi global. 

Fenomena ini bukan kelemahan, melainkan bentuk adaptasi biologis. Sebagai masyarakat tropis yang terbiasa mengandalkan karbohidrat nabati dan protein ikan, tubuh orang Nusantara menyesuaikan diri dengan pola tersebut. Mengubah pola ini secara drastis dengan meniru pola pangan negara empat musim bisa menimbulkan risiko malnutrisi atau gangguan pencernaan.

Dalam perspektif sosiologi kuliner, makanan adalah bahasa identitas. Ia membentuk circle komoditas lokal, menjaga ekosistem petani, nelayan, hingga pedagang kecil. Jika program MBG mampu menempatkan jagung di Timor, sagu di Papua, atau ubi di Jawa sesuai konteks lokal, maka gizi masyarakat bisa tercapai tanpa merusak rantai sosial-ekonomi yang sudah berjalan.

Ubi, misalnya, yang selama ini dianggap sebagai pangan "kelas dua", justru memiliki keunggulan serat tinggi, vitamin A, dan indeks glikemik yang relatif lebih rendah dibanding nasi. Jika diolah dengan tepat, ubi bukan hanya solusi gizi, tetapi juga obat sosial untuk menghapus stigma bahwa makan sehat harus selalu dengan nasi.

Jagung di NTT, ubi di Jawa, sagu di Maluku-Papua, bahkan pisang di sebagian daerah Sulawesi, semua memperlihatkan kearifan lokal dalam menyeimbangkan gizi dengan kondisi alam. Masyarakat lokal tahu bahwa tubuh mereka lebih mudah mencerna pangan tersebut dibandingkan dengan pangan impor atau produk modern yang sering kali dipaksakan melalui iklan dan industri.

Ilmu nutrisi modern juga mendukung hal ini. Penelitian terbaru di bidang nutrisi tropis menunjukkan bahwa konsumsi pangan lokal kaya serat membantu mengurangi risiko penyakit metabolik seperti diabetes dan obesitas. Sebaliknya, homogenisasi pangan berbasis nasi dan produk olahan susu justru meningkatkan risiko intoleransi dan ketidakseimbangan gizi.

Program MBG di Indonesia seharusnya tidak berhenti pada slogan "empat sehat lima sempurna" versi modern. Ia harus mampu membaca konteks kultural dan biologis. Artinya, menu bergizi seimbang bukan hanya nasi dan lauk hewani, tetapi juga bisa jagung titi dan ikan bakar di NTT, papeda dan kuah ikan di Papua, atau tiwul dengan sayur lodeh di Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun