Sidang Umum PBB tahun ini menjadi panggung sejarah. Dunia menyaksikan bagaimana 156 negara, dari berbagai benua, satu per satu menyatakan pengakuan terhadap kedaulatan Palestina. Momentum ini tidak hanya simbolik, tetapi juga menandai pergeseran diplomasi global menuju solidaritas moral yang menekan arogansi Israel dan sekutunya, Amerika Serikat.
Sembilan negara baru, meliputi Prancis, Inggris, Kanada, Australia, Luksemburg, Malta, Andorra, Monako, dan Belgia, bergabung dalam arus besar ini. Sebuah gelombang yang tak lagi bisa dibendung, menembus barikade politik lama yang selama puluhan tahun menghambat Palestina berdiri sejajar di panggung internasional.
Di London, bendera Palestina kini berkibar di kawasan diplomatik. Tidak lagi sekadar isu humaniter, melainkan pengakuan formal dengan konsekuensi hubungan bilateral. Hal demikian jelas bukan akhir, melainkan awal babak baru diplomasi global.
Uni Eropa pun bergolak. Suara untuk memutus atau memboikot hubungan diplomatik dengan Israel dan Amerika Serikat semakin nyaring. Dari Luksemburg hingga London, dari Brussel hingga Paris, muncul kesadaran baru. Tidak mungkin berbicara tentang perdamaian sambil membiarkan Palestina terus dikepung kekerasan.
Sementara itu, Timur Tengah bergerak dengan irama berbeda. Mesir, yang selama ini berperan sebagai salah satu mediator, justru mendorong pembentukan aliansi militer pertahanan. Dorongan ini muncul setelah Israel melancarkan serangan udara ke Qatar pada 9 September 2025, serangan yang menampar wajah diplomasi internasional.
Qatar, yang dikenal dekat dengan Washington dan bahkan sesekali dengan Tel Aviv, mendapati dirinya dikhianati oleh jaminan keamanan semu. Serangan Israel itu justru memperkuat kesadaran kawasan Arab bahwa hanya solidaritas internal yang bisa menjamin stabilitas, bukan janji-janji kekuatan eksternal.
Ketika 156 negara berdiri untuk Palestina, dunia menunjukkan bahwa keadilan tak bisa dibungkam veto. Diplomasi modern lahir bukan dari kekuasaan, tapi dari keberanian moral yang menyatukan bangsa-bangsa.
Dalam kerangka teori diplomasi modern, perubahan ini adalah contoh nyata "koalisi nilai". Prancis dan Arab Saudi menjadi motor, menjalin komunikasi maraton demi merangkul negara-negara lain. Hasilnya nyata, mayoritas dunia kini sepakat Palestina berhak penuh atas kedaulatannya.
Namun, bayang-bayang veto tetap menghantui. Empat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB telah mengakui Palestina. Satu-satunya penahan adalah Amerika Serikat. Dengan hak veto di tangannya, Washington tetap mampu menghalangi Palestina menjadi anggota penuh PBB.
Tetapi di balik kekuatan formal itu, isolasi moral menanti. Amerika Serikat semakin dipandang sebagai penghalang perdamaian. Hegemoni yang kehilangan legitimasi, begitulah rasanya menempatkan Amerika Serikat dan Israel dalam diplomasi global. Dunia bergerak, sementara Washington kian terjebak dalam posisinya sendiri.
Israel pun menghadapi konsekuensi diplomatik serupa. Jika dulu ia mampu menekan lewat narasi keamanan regional, kini serangannya ke Qatar justru menciptakan alienasi. Israel sedang mengasingkan dirinya sendiri, self-isolating aggression yang mengikis simpati bahkan dari negara-negara yang dulu enggan mengambil posisi.