Surat ultimatum dari SI (Sponsor Indonesia) yang menuntut gelar juara juga memperkeruh keadaan. Alih-alih menjadi motivasi, tekanan dari sponsor tanpa pendekatan psikologis justru memperparah kecemasan kompetitif para atlet. Dalam psikologi olahraga, tekanan tanpa dukungan disebut sebagai destructive stress, yang bisa menyebabkan burn out dan depresi kinerja.
Sementara negara-negara pesaing seperti Jepang, Korea Selatan, dan India mulai menerapkan sistem pendampingan psikologis secara terstruktur di pelatnas mereka, Indonesia justru berjalan mundur. Kelembagaan PBSI tidak hanya gagal menghadirkan inovasi, tetapi juga abai terhadap kebutuhan mental atlet modern.
Kemenangan lahir dari keyakinan, bukan tekanan. Ketika manajemen hanya menuntut gelar tanpa empati, maka Pelatnas bukan lagi tempat pembinaan, melainkan ladang kehancuran.
PBSI perlu segera melakukan reformasi total dalam manajemen pelatnas. Harus ada sinergi antara pelatih, psikolog, manajer tim, dan atlet dalam membangun target prestasi. Kinerja pelatih sebaiknya dinilai tidak hanya dari hasil kejuaraan, tetapi juga dari iklim psikologis yang diciptakan di pelatnas.
Tanpa reformasi manajemen yang berorientasi pada kesejahteraan atlet secara holistik, jangan berharap banyak dari ajang-ajang besar ke depan seperti World Championship atau Olimpiade. Sebab, di balik medali emas, selalu ada jiwa yang kuat. Dan jiwa kuat hanya tumbuh dari sistem yang sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI