Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

PBSI Mandul Gelar, Atlet Tertekan: Saat Pelatnas Gagal Jadi Rumah Juara

4 Juli 2025   06:07 Diperbarui: 4 Juli 2025   06:07 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enam bulan pertama tahun 2025 telah berlalu dengan catatan kelam bagi dunia bulu tangkis Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) hanya mampu menghadirkan dua gelar juara dari level turnamen Super 300, yakni melalui pasangan ganda putri Anny Tria Mayasari/Siti Fadia Silva Ramadhanti di Thailand Masters, serta pasangan ganda campuran muda Afar Hidayatullah/Felisha Alberta Nathaniel Pasaribu di Taiwan Open.

Jika menilik sejarah panjang kejayaan bulu tangkis Indonesia, torehan ini bukan sekadar penurunan, melainkan krisis prestasi. Bahkan lebih menyakitkan, tidak ada satu pun wakil dari Pelatnas PBSI yang berhasil menembus babak final Indonesia Open 2025. Turnamen prestisius yang seharusnya menjadi etalase kekuatan badminton nasional di mata dunia.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: Di mana letak kegagalan utama PBSI? Apakah hanya soal strategi teknik permainan, ataukah ada kegagalan mendasar dalam manajemen dan pendekatan psikologi olahraga yang selama ini terabaikan?

Perlu diakui bahwa awal tahun 2025 ditandai dengan kebijakan kontroversial PBSI: mengganti para pelatih kawakan yang telah lama membina atlet-atlet pelatnas, lalu merekrut pelatih baru dengan harapan penyegaran strategi. Namun ironi pun terjadi, pelatih baru gagal total mengantarkan gelar, sedangkan pelatih yang dilepas justru memperkuat tim-tim negara pesaing dan meraih sukses.

Kebijakan ini bukan hanya berdampak teknis, tapi juga mengguncang secara psikologis. Atlet, khususnya mereka yang sudah membangun chemistry dan kepercayaan dengan pelatih lama, kehilangan stabilitas mental dan motivasi. Dalam psikologi olahraga, hubungan pelatih-atlet adalah fondasi pembentuk competitive confidence. Manakala fondasi itu rusak, maka performa cenderung anjlok.

Sayangnya, PBSI terlihat gagal menyediakan buffer psikologis bagi para atletnya. Ketika tekanan meningkat akibat hasil buruk, tidak ada sistem dukungan psikologi olahraga yang memadai. Padahal, dalam olahraga kompetitif, peran psikolog olahraga sama vitalnya dengan pelatih teknik, nutrisionis, atau fisioterapis.

Prestasi bukan hanya soal teknik dan ranking, tapi jiwa yang sehat dan dukungan yang kuat. Saat federasi gagal merawat mental atlet, maka yang runtuh bukan hanya podium, tapi masa depan olahraga itu sendiri.

Tidak mengherankan jika sejumlah atlet memilih mundur dari Pelatnas. Mereka lebih nyaman berkarier sebagai atlet profesional independen, di mana mereka bisa memilih pelatih, jadwal latihan, hingga kompetisi secara mandiri. Fenomena ini menandakan adanya konflik mendalam antara federasi dan atlet, yang tak terselesaikan secara humanis.

Kegagalan ini bukan sekadar hasil dari strategi yang keliru, tetapi juga dari ketidakmampuan PBSI membangun ekosistem olahraga yang sehat, kolaboratif, dan manusiawi. Tidak adanya athlete-centered management menyebabkan krisis kepercayaan dari para atlet terhadap sistem pelatnas. Athlete-centered management adalah pendekatan manajemen olahraga modern yang menempatkan kebutuhan fisik, mental, emosional, dan spiritual atlet sebagai pusat dari kebijakan federasi. Federasi bertindak bukan sebagai "atasan" tetapi sebagai "fasilitator prestasi".

Dalam pendekatan ini, pelatih tidak sekadar menjadi pengatur strategi, tetapi juga pembina mental. Mereka bekerja berkolaborasi dengan tim psikologi olahraga untuk memastikan bahwa atlet tetap memiliki motivasi intrinsik, kontrol terhadap stres, dan manajemen emosi yang stabil saat kompetisi berlangsung.

Namun yang terjadi di PBSI justru sebaliknya. Pelatih baru yang direkrut tampak tidak memiliki kedalaman relasi dengan atlet maupun kapabilitas dalam membangun lingkungan latihan yang suportif. Mereka gagal memulihkan mental para atlet yang kehilangan arah, dan hanya menuntut performa tanpa memahami dinamika batin atlet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun