Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Amerika Serang Fasilitas Nuklir Iran, Dunia Harus Siap Hadapi Skema Perang Total

22 Juni 2025   16:38 Diperbarui: 22 Juni 2025   16:38 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Variasi jenis rudal milik Iran (Sumber: bloomberg.com)

Ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran kembali memanas setelah serangan udara yang dilancarkan AS terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran, yaitu Fordow, Natanz, dan Esfahan. Serangan yang diklaim "sukses besar" oleh Presiden Donald Trump tersebut dilakukan pada Sabtu (21/6) dengan menggunakan pesawat siluman B2 dan bom bunker-buster seberat 30.000 pon. Tindakan ini tidak hanya menyalakan bara konflik militer terbuka, tetapi juga menempatkan dunia pada ambang krisis global yang bisa menyeret berbagai negara ke jurang Perang Dunia Ketiga.

Presiden Trump secara terbuka menyampaikan bahwa pilihan bagi Iran kini hanya dua, menyerah tanpa syarat atau menghadapi serangan lanjutan yang lebih masif. Pernyataan ini mencerminkan retorika ultimatum yang menutup ruang diplomasi. Ketika diplomasi dibungkam oleh superioritas militer, maka jalan menuju konfrontasi global terbuka lebar.

Iran merespons dengan tegas. Pemerintah di Teheran menyatakan bahwa mereka memiliki dasar hukum untuk menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), mengacu pada Pasal 10. Pasal tersebut memberikan hak bagi negara anggota untuk mundur jika terdapat ancaman luar biasa terhadap kepentingan nasionalnya. Serangan langsung ke situs nuklir jelas merupakan ancaman semacam itu.

Pernyataan Iran menyoroti fakta pahit bahwa kekuatan besar seperti Amerika Serikat kerap bertindak di luar moralitas dan kerangka hukum internasional, terutama ketika berhadapan dengan negara-negara yang tidak sejalan dengan kebijakan luar negeri Washington. Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, AS tampaknya tidak merasa terikat pada prinsip-prinsip keadilan internasional.

Meski AS mengklaim telah menghancurkan fasilitas strategis, laporan dari media Iran dan lembaga lokal seperti IRNA dan Markas Besar Manajemen Krisis Provinsi Qom menyatakan bahwa serangan ke Fordow tidak menimbulkan kerusakan besar. Kehidupan di sekitar lokasi tetap berjalan normal, dan tidak terdeteksi adanya radiasi. Laporan ini memang belum diverifikasi secara independen, namun menunjukkan keteguhan Iran dalam menangkis narasi superioritas AS.

Ketika diplomasi dikalahkan oleh dentuman bom dan ultimatum, maka dunia kehilangan harapan akan perdamaian. Perang bukanlah tanda kekuatan, melainkan kegagalan manusia memahami satu sama lain.

Lebih jauh, serangan ini tidak dapat dilepaskan dari konteks konflik Iran-Israel yang telah berlangsung lama. Dengan AS kini terlibat langsung, perang yang awalnya bersifat regional berpotensi membesar menjadi konflik global. Proxy war yang dimainkan AS justru membuka peluang eskalasi, termasuk serangan balik ke pangkalan militer AS di Timur Tengah dan target-target strategis Israel.

Iran pun meluncurkan gelombang balasan berupa 30 rudal ke wilayah Israel pada Minggu (22/6). Ini menandai titik kritis, di mana ketegangan bilateral berubah menjadi konfrontasi terbuka. Ketika serangan semacam ini terus berlangsung, sangat mungkin negara-negara sekutu kedua belah pihak ikut terseret, menciptakan efek domino geopolitik yang sulit dikendalikan.

Di sisi domestik Amerika, langkah Presiden Trump juga memicu kritik tajam dari DPR AS, baik dari Partai Demokrat maupun Republik. Banyak legislator mengecam bahwa serangan ke Iran dilakukan tanpa otorisasi Kongres, melanggar konstitusi AS. Aksi militer besar tanpa persetujuan legislatif dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan menimbulkan instabilitas dalam kebijakan luar negeri AS sendiri.

Tindakan sepihak Trump menimbulkan kekhawatiran bahwa keputusan-keputusan besar militer kini lebih dipengaruhi oleh ambisi pribadi atau agenda politik, bukan pertimbangan strategis jangka panjang. Ketika sistem pengawasan demokratis dilewati, maka risiko kesalahan fatal dalam kebijakan luar negeri meningkat drastis.

Iran, dalam skenario terburuk, bisa mengaktifkan sekutu-sekutunya di kawasan. Kelompok bersenjata seperti Hizbullah di Lebanon, milisi Syiah di Irak, atau Houthi di Yaman bisa meningkatkan serangan terhadap kepentingan AS dan Israel. Maka, konflik ini tidak lagi sekadar konfrontasi dua negara, melainkan bisa menjadi perang kawasan yang tidak terlokalisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun