Strategi pertahanan nasional yang efektif harus berpijak pada integrasi antara postur militer yang kuat dan sistem pemerintahan sipil yang adaptif. Ketahanan pangan, kesehatan, dan ekonomi memang penting bagi stabilitas nasional. Tetapi jalan menuju itu bukan dengan menambah peran tentara, melainkan memperkuat lembaga-lembaga sipil yang bekerja di sektor tersebut.
Negara yang tangguh bukan yang tentaranya mahir bertani, tapi yang militernya fokus pada pertahanan dan rakyatnya diberdayakan membangun pangan. Ketika tiap peran dijalankan dengan tepat, maka keamanan dan kemakmuran menjadi dua sisi dari satu kekuatan nasional.Â
TNI adalah tulang punggung pertahanan kedaulatan bangsa. Ia harus tetap berada di garis depan dalam menghadapi ancaman militer konvensional dan non-konvensional, bukan menjadi eksekutor utama proyek pembangunan. Mempertahankan garis batas ini penting bukan hanya demi efektivitas institusi, tetapi demi menjaga roh demokrasi dan profesionalisme militer.
Rekrutmen 24.000 tamtama harus dijalankan dalam kerangka penajaman profesionalisme tempur. Mereka dididik untuk menghadapi musuh di medan perang, bukan untuk menjadi teknisi pertanian. Bila semangat ini tetap dijaga, maka kekuatan TNI akan terus menjadi garda terdepan ketahanan nasional, tanpa mengaburkan batas antara pelindung dan pelaksana pembangunan.
Dengan demikian, pengembangan kekuatan militer dalam konteks pertahanan nasional tidak boleh kehilangan fokus utamanya: yaitu membangun daya gentar dan daya tangkal terhadap ancaman kedaulatan. Ketahanan pangan dan kesehatan bisa diperkuat melalui kolaborasi lintas sektor, bukan melalui militerisasi sipil. Strategi pertahanan masa depan adalah sinergi, bukan dominasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI