Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Takbir di Antara Seribu Pintu, Semarang Tawarkan Sensasi Shalat Id di Lawang Sewu

9 Juni 2025   07:48 Diperbarui: 9 Juni 2025   07:48 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shalat Idul Adha di halaman obyek wisata bersejarah Lawang Sewu, Semarang (Sumber: antaranews.com)

Jumat pagi, 6 Juni 2025, menjadi momen yang mencatat sejarah baru dalam lanskap keagamaan dan pariwisata Kota Semarang. Ratusan Muslim dari berbagai penjuru memadati kompleks objek wisata Lawang Sewu untuk melaksanakan Shalat Idul Adha 1446 Hijriah. Mereka bukan hanya jamaah lokal, melainkan juga pelancong dari luar kota yang ingin merasakan pengalaman spiritual yang berbeda di jantung sejarah Jawa Tengah.

Sejak pukul 05.30 WIB, suasana sekitar kawasan Tugu Muda mulai ramai. Jamaah memadati halaman plaza Lawang Sewu hingga ke selasar-selasar bangunan yang sudah berusia lebih dari seabad itu. Tepat pukul 06.15 WIB, gema takbir bergema dari pelataran, menyatu dengan sinar mentari pagi yang menyapa jendela-jendela besar khas arsitektur kolonial.

Pelaksanaan Shalat Idul Adha ini bukan yang pertama kali diadakan di Lawang Sewu. Sebelumnya, lokasi ini juga digunakan untuk Shalat Idul Fitri, namun penyelenggaraan Shalat Idul Adha kali ini memperkuat pesan bahwa ruang-ruang sejarah bisa direvitalisasi menjadi ruang spiritual dan kebudayaan baru. Masyarakat tampak khusyuk dan nyaman, menjadikan momen tersebut tak hanya ibadah, tetapi juga rekreasi jiwa dan budaya.

Para peserta Shalat Id, terutama yang datang bersama keluarga, tampak antusias mengabadikan momen usai salat. Mereka berfoto di depan bangunan megah dengan arsitektur khas Eropa Timur abad ke-19. Ini bukan sekadar aktivitas pelengkap, tetapi bagian dari narasi baru: Lawang Sewu bukan lagi simbol kegelapan dan misteri, tetapi ruang inklusif yang ramah keluarga dan terbuka untuk peradaban.

Ketika takbir bergema di tengah bangunan bersejarah, kita tidak hanya menghidupkan ruang, tetapi juga menyatukan masa lalu dan masa depan dalam harmoni spiritual. Lawang Sewu bukan lagi sekadar warisan, tapi jembatan batin umat yang haus makna.

Lawang Sewu, yang selama bertahun-tahun dikenal luas melalui narasi horor dan kisah mistis, hari itu menyuguhkan narasi berbeda. Kehadiran umat Islam yang beribadah dengan damai dan khusyuk telah membantah stigma negatif yang lama melekat. Kegiatan religius ini menjadi semacam "ritual penyucian" makna budaya dari bangunan tersebut, membingkai ulang Lawang Sewu dalam lanskap spiritualitas modern.

Pendekatan ini merupakan bagian dari inovasi pariwisata budaya berbasis sejarah. Lawang Sewu bukan hanya dijaga sebagai situs heritage, tapi diberdayakan sebagai ruang sosial yang hidup. Ini sejalan dengan semangat pariwisata modern yang tidak lagi sekadar menjual pemandangan, melainkan juga pengalaman, nilai, dan identitas budaya.

Lawang Sewu memiliki sejarah panjang sebagai kantor administrasi Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Arsitektur dan desainnya yang khas mencerminkan kemegahan Eropa kolonial, namun kini, sejarah itu dirangkul untuk menumbuhkan makna baru. Dalam masa penjajahan Jepang, bangunan ini bertransformasi menjadi markas tentara dan kantor transportasi Riyuku Sokyoku. Dan pada masa Revolusi, menjadi saksi bisu pertempuran lima hari di Semarang pada Oktober 1945.

Inovasi kepariwisataan berbasis budaya dan sejarah seperti ini memperlihatkan bahwa ruang-ruang bersejarah bisa berfungsi ganda, menjaga memori kolektif sekaligus menjadi ruang ekspresi religius kontemporer. Shalat Id di Lawang Sewu adalah bentuk adaptasi yang harmonis antara warisan masa lalu dan dinamika keagamaan masa kini.

Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, semakin mencari pengalaman wisata yang mengedukasi dan menyentuh nilai-nilai spiritual serta historis. Lawang Sewu memberikan keduanya. Saat anak-anak diajak berfoto bersama orang tuanya di depan bangunan yang dulu identik dengan cerita seram, terjadilah pergeseran makna: dari ruang horor menjadi ruang kebanggaan sejarah bangsa.

Dengan pendekatan ini, Lawang Sewu tidak hanya berfungsi sebagai cagar budaya yang dilestarikan secara pasif, tapi juga dihidupkan melalui kegiatan religius, seni, dan budaya. Pelaksanaan Shalat Id ini bisa menjadi model bagi kota-kota lain yang memiliki bangunan kolonial atau bersejarah untuk menjadikannya lebih relevan dengan kehidupan masyarakat kekinian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun