Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Green Kurban, Saatnya Ibadah Tidak Meninggalkan Jejak Sampah

5 Juni 2025   20:13 Diperbarui: 5 Juni 2025   20:13 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengurangan penggunaan plastik dalam pengelolaan daging kurban (Sumber: pwmjateng.com)

Setiap tanggal 5 Juni, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia sebagai momentum global untuk menumbuhkan kesadaran kolektif terhadap kondisi planet yang semakin rapuh. Tahun ini, peringatan tersebut berdekatan dengan momentum besar umat Islam, yaitu Iduladha. Ini adalah saat yang tepat untuk memadukan nilai-nilai spiritual dengan tanggung jawab ekologis melalui praktik Green Kurban. Sebuah gerakan sadar lingkungan dalam pelaksanaan ibadah kurban.

Green Kurban bukan sekadar tren, melainkan transformasi nilai dalam beribadah. Jika selama ini kurban dimaknai semata-mata sebagai ritual keagamaan, kini sudah saatnya ia juga dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab ekologis. Ibadah kurban harus meninggalkan jejak keberkahan, bukan jejak sampah dan pencemaran lingkungan.

Krisis air bersih yang menghantui banyak wilayah di dunia, termasuk Indonesia, menjadi panggilan bagi kita untuk lebih bijak dalam praktik penyembelihan hewan kurban. Limbah darah dan isi perut hewan yang dibuang sembarangan bisa mencemari tanah dan saluran air, memperburuk kualitas lingkungan serta mengganggu kesehatan masyarakat.

Gerakan Green Kurban mendorong setiap panitia dan masyarakat untuk mengelola proses kurban secara bertanggung jawab. Mulai dari lokasi penyembelihan yang bersih dan terstandarisasi, pengelolaan limbah organik menjadi kompos, hingga larangan keras membuang limbah ke selokan atau sungai. Prinsip dasarnya sederhana, yaitu kurban yang tidak merusak lingkungan.

Selain pengelolaan limbah, Green Kurban juga menyasar aspek distribusi daging. Sudah saatnya kita meninggalkan kebiasaan lama menggunakan kantong plastik sekali pakai dalam pembagian daging kurban. Sebagai gantinya, kita bisa menggunakan besek bambu, daun jati, atau wadah reusable milik penerima. Solusi ini tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga memperkuat nilai-nilai lokal dan kearifan budaya.

Kurban sejati bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi juga ego kita terhadap alam. Saat daging dibagikan tanpa plastik dan limbah dikelola dengan bijak, di situlah kita menunaikan ibadah dan cinta pada bumi secara bersamaan.

Kantong plastik sekali pakai membutuhkan ratusan tahun untuk terurai dan seringkali berakhir mencemari laut dan saluran air. Dalam konteks perayaan kurban yang melibatkan jutaan kantong plastik, dampaknya terhadap lingkungan sangat masif. Maka, gerakan Kurban Tanpa Plastik harus menjadi seruan moral dan ekologis bersama.

Tentu tantangan Green Kurban tidak ringan. Perlu edukasi masif, kolaborasi antar lembaga, serta kebijakan pro-lingkungan dari pemerintah daerah hingga pusat. Di sinilah pentingnya peran masjid, sekolah, pesantren, dan komunitas keagamaan untuk menjadi motor perubahan. Memberikan pemahaman bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari iman dan ibadah.

Inisiatif Green Kurban sejatinya memperluas makna rahmatan lil 'alamin dalam Islam. Ibadah tidak berhenti di pelaksanaan ritual, tetapi juga menyentuh aspek sosial, kesehatan, dan kelestarian lingkungan. Kurban yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab ekologis akan menjadi ibadah yang lebih paripurna dan menyentuh makna hakiki.

Sudah banyak wilayah di Indonesia yang mulai menerapkan prinsip-prinsip Green Kurban. Beberapa masjid di perkotaan telah melibatkan komunitas zero waste dalam proses distribusi daging. Bahkan, ada panitia yang menyediakan opsi bagi jamaah untuk membawa wadah sendiri saat mengambil daging kurban. Ini adalah contoh konkret perubahan kecil yang berdampak besar.

Tidak kalah penting adalah pengelolaan limbah hasil penyembelihan. Daripada dibuang ke saluran air, limbah organik seperti darah dan jeroan bisa dijadikan pupuk cair atau kompos melalui proses biokonversi. Ini membuka peluang ekonomi hijau bagi masyarakat sekitar sembari menjaga keberlanjutan ekosistem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun