Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Cannes Film Festival 2025 dan Layar Sinematik Diplomasi Palestina

12 Mei 2025   06:50 Diperbarui: 12 Mei 2025   06:33 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Watermelon sebagai simbol perlawanan genosida Israel atas Palestina (Sumber: time.com)

Festival Film Cannes 2025 menjadi medan simbolik diplomasi kemerdekaan Palestina. Ketika layar perak menjadi ruang perlawanan, sinema tidak lagi sekadar representasi artistik, melainkan artikulasi politik dari penderitaan dan perjuangan. Sinema Palestina kini melangkah ke barisan depan perlawanan non-konvensional, yaitu menggeser simpati publik dunia lewat empati yang dihidupkan oleh narasi, gambar, dan kesaksian dalam film.

Dalam kajian teori politik sinematografi, sebuah pendekatan yang menggabungkan studi estetika visual dengan strategi diplomatik dalam konflik dan kolonialisme, film dokumenter Put Your Soul on Your Hand and Walk karya Sepideh Farsi menjadi monumen emosional dan geopolitik. Film ini bukan hanya catatan penderitaan, tapi perlawanan yang direkam dari ruang virtual. Fatima Hassouna, jurnalis muda dari Gaza yang menjadi tokoh utama, tampil sebagai suara kolektif rakyat Palestina yang dibungkam peluru, tapi bangkit dalam sinema.

Ironi pahit mewarnai kehadiran film ini di Cannes. Hassouna gugur oleh serangan udara Israel hanya sehari setelah mendapat kabar filmnya terpilih di festival. Kematian ini mempertegas bahwa narasi Palestina tidak bisa dipisahkan dari risiko eksistensial yang mereka hadapi. Dalam teori visual sovereignty, representasi visual Palestina adalah bentuk klaim atas kemerdekaan kultural yang mendahului legitimasi politik formal.

Sepideh Farsi, sineas Iran yang juga hidup dalam pengasingan, menggunakan teknologi video call sebagai medium produksi film. Dalam batas-batas layar kecil itulah, sinema Palestina diciptakan. Produksi dari keterbatasan, keterkungkungan, dan ketidakpastian. Sinema ini merepresentasikan post-cinema politics atau politik pasca-layar konvensional yang dibentuk oleh realitas digital, konektivitas global, dan estetika kesaksian.

Sementara itu, The Encampments garapan Watermelon Pictures mendokumentasikan perjuangan solidaritas mahasiswa Universitas Columbia terhadap genosida di Palestina. Film ini menempatkan politik sinematografi sebagai jembatan antara pergulatan lokal dan internasional. Mahasiswa bukan hanya subjek film, tapi juga aktor gerakan global yang memaksa institusi-institusi elit Amerika untuk mempertanggungjawabkan keterlibatan finansial dalam industri perang.

Dalam politik sinematografi, The Encampments mencerminkan konsepsi counter-hegemonic cinema, sebuah sinema yang melawan dominasi naratif negara-negara kuat melalui dokumentasi, kesaksian, dan agitasi moral. Kemunculan film ini di pasar film Cannes adalah peristiwa penting dalam diplomasi kultural Palestina, menjadikan penonton global sebagai saksi, sekaligus partisipan dalam pembentukan opini publik internasional.

Distribusi film oleh Munir Atalla melalui Watermelon Pictures bukan semata strategi bisnis, tetapi ekspansi medan diplomasi. Diplomasi film tidak lagi dilakukan oleh negara-negara dengan kedutaan, tapi oleh pembuat film, distributor, dan kurator festival yang membuka ruang wacana global. Ini mencerminkan pergeseran dari diplomasi keras (hard diplomacy) menuju diplomasi naratif (narrative diplomacy).

Dalam program Un Certain Regard, film Once Upon a Time in Gaza karya Tarzan dan Nasser Nasser tampil sebagai alegori tragedi sekaligus harapan. Dengan Naber Abd Alhay sebagai pemeran utama, film ini menarasikan Gaza dari dalam, dengan sudut pandang humanistik, bukan sekadar politis. Ini adalah strategi estetik dalam politik identitas, yaitu menjadikan kehidupan Palestina bukan sekadar angka statistik korban, tetapi kisah manusiawi yang universal.

Kehadiran tiga film Palestina dalam satu edisi Cannes adalah tonggak sejarah. Tidak hanya menandai pengakuan estetik internasional, tetapi juga menjadi bagian dari diplomasi naratif. Lewat Cannes, Palestina memasuki diplomasi festival, di mana legitimasi hadir melalui penghargaan, kritik, dan eksposur global. Ini adalah bentuk "panggung pengakuan" (stage of recognition) yang penting dalam perjuangan bangsa tanpa negara.

Teori postcolonial cinema menjelaskan bahwa sinema dari wilayah-wilayah terjajah berfungsi membongkar struktur kolonial naratif yang dibentuk oleh media dominan. Palestina dalam film bukan lagi objek penderita, tetapi subjek pembebas. Festival film internasional seperti Cannes menjadi arena pertarungan simbolik antara kolonialisme dan narasi perlawanan.

Ketika pemerintah-pemerintah besar enggan menyebut kata "genosida," para pembuat film, jurnalis, dan mahasiswa mengisi kekosongan moral itu. Sinema menjadi senjata moral yang lebih ampuh dari embargo. Ia menyentuh hati, membangun solidaritas, dan menembus batas sensor politik. Cannes 2025 adalah buktinya, bahwa festival ini bukan hanya selebrasi estetika, tetapi juga ladang diplomasi nurani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun