Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bela Negara dari Barak Militer, Strategi Baru Menumbuhkan Nasionalisme Remaja "Nakal"

10 Mei 2025   22:29 Diperbarui: 10 Mei 2025   22:29 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelatihan bela negara bagi pelajar (Sumber: smkislam1blitar.sch.id)

Langkah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, sejak 2 Mei 2025 untuk mengirim anak-anak yang dikategorikan "nakal" ke barak militer bukan hanya memancing perhatian publik, tapi juga membuka diskusi akademik tentang bagaimana negara menyikapi krisis perilaku remaja. Dari 29 anak di Purwakarta, kini program tersebut telah mencakup 239 anak dari Depok, Bogor, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Kota Bandung, Kota Cimahi, hingga Sukabumi hanya dalam kurun tiga hari. Pertanyaannya bukan hanya "mengapa" mereka dikirim, tetapi "apa" yang ingin dibentuk dari kebijakan ini.

Fenomena anak-anak remaja yang terlibat dalam tawuran, geng motor, serta perilaku menyimpang seperti mabuk-mabukan, bukanlah hal baru. Namun, eskalasinya di wilayah Jawa Barat menunjukkan urgensi penanganan yang sistemik. Ketika sekolah menyerah, dan orang tua angkat tangan, maka negara harus hadir sebagai support system alternatif yang kuat.

Dari sudut pandang psikologi perkembangan, remaja adalah individu yang sedang mencari jati diri dalam fase storm and stress, sebagaimana disebutkan oleh G. Stanley Hall. Mereka cenderung mudah terpengaruh lingkungan, rentan terhadap tekanan sosial, dan pada saat bersamaan memiliki kebutuhan kuat untuk menunjukkan eksistensi diri. Jika lingkungan mereka rusak, maka rusak pula arah pertumbuhan psikologisnya.

Dalam konteks inilah, teori perubahan lingkungan sosial dari Kurt Lewin menjadi sangat relevan. Lewin menyebut bahwa perilaku (B) adalah fungsi dari individu (P) dan lingkungannya (E): B = f(P,E). Maka perubahan lingkungan yang radikal seperti memindahkan remaja ke barak militer, adalah upaya merekonstruksi nilai dan norma perilaku mereka secara langsung.

Namun, langkah semacam ini tidak bisa dilepaskan dari kritik. Militer bukan lembaga rehabilitasi psikologis. Karakter komando, kedisiplinan, dan hirarki jelas bisa mengembalikan struktur otoritas dan kendali, tetapi tidak serta merta menyentuh akar luka psikososial yang sering kali menyertai perilaku remaja yang menyimpang.

Di sisi lain, pendekatan barak militer bisa dilihat sebagai bentuk shock therapy positif. Ketika anak-anak kehilangan figur otoritatif dalam keluarga atau sekolah, institusi militer bisa menggantikan peran itu. Dalam banyak kasus, anak justru butuh struktur tegas untuk menahan gejolak impulsif mereka. Jika dilengkapi dengan pendekatan empatik dan kegiatan pembinaan mental, maka barak militer dapat menjadi ruang transformatif, bukan represif. Pelatihan kedisiplinan yang diimbangi dengan penanaman nilai nasionalisme, kerja tim, bela negara, dan penguatan Pancasila, akan mengalihkan energi destruktif menjadi produktif.

Hal ini selaras dengan konsep support system yang dikembangkan oleh Bronfenbrenner dalam teori ekologi perkembangan. Anak tidak hidup dalam ruang hampa, melainkan dalam sistem mikro (keluarga, sekolah), meso (hubungan antara institusi), ekso (kebijakan publik), dan makro (budaya, nilai). Barak militer menjadi salah satu elemen support system ketika mikro-sistem gagal.

Banyak dari anak-anak yang kini terlibat dalam geng motor atau aksi brutal bukan sepenuhnya "nakal". Mereka adalah produk dari lingkungan yang abai, keluarga disfungsional, sekolah yang kehilangan wibawa, dan masyarakat yang permisif. Mereka tidak jahat, mereka terlantar. Melalui barak militer, pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang membangun ulang mikro dan meso sistem bagi anak-anak ini. Mereka diberi rutinitas baru, teman baru, bahkan mungkin harapan baru. Hal yang penting, ini bukan akhir jalan mereka, melainkan titik balik.

Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kualitas pelaksanaannya. Apakah pelatih di barak militer mendapat pelatihan psikologis dasar? Apakah tersedia konselor? Apakah ada integrasi dengan sekolah dan keluarga pasca-program? Ini adalah aspek-aspek penting yang tidak boleh diabaikan. Jika tidak hati-hati, program ini bisa menjadi alat stigmatisasi dan kontrol sosial semata. Kita tidak ingin menciptakan angkatan remaja yang tunduk karena takut, melainkan taat karena sadar. Maka, pendidikan karakter dan pembinaan nilai harus menjadi jantung program, bukan hanya baris-berbaris dan push-up.

Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi adalah terobosan berani. Ketika banyak kepala daerah menghindari konflik sosial, ia justru menghadapinya. Ini patut diapresiasi. Tapi terobosan tanpa evaluasi hanya akan menjadi retorika, bukan solusi jangka panjang. Kita butuh lebih dari sekadar "pemusatan anak nakal". Kita butuh reformasi pendidikan karakter di sekolah, penguatan peran orang tua, dan peningkatan kapasitas lembaga sosial. Barak militer hanyalah satu bagian dari puzzle besar dalam membentuk remaja Indonesia yang tangguh dan cinta Tanah Air.

Di tengah krisis moral remaja, negara tidak boleh absen. Tetapi kehadiran negara harus disertai kasih sayang, bukan semata otoritas. Jika program ini terus dikembangkan dengan pendekatan humanis dan interdisipliner, maka kita tidak hanya menyelamatkan anak-anak dari kenakalan, tetapi juga dari kehilangan masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun