Pada 25 April 2025, pemerintah resmi mengembalikan status internasional kepada Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang, bersamaan dengan Bandara S. M. Badaruddin II Palembang dan Bandara H.A.S. Hanandjoeddin Bangka Belitung.
Ini bukan sekadar perubahan administratif. Dalam perspektif ekonomi makro dan bisnis pariwisata, keputusan ini adalah katalisator baru dalam penguatan konektivitas wilayah Nusantara dengan jejaring global.
Bandara Ahmad Yani adalah simpul strategis yang menghubungkan pesisir utara Jawa Tengah dengan dunia internasional.
Dengan status barunya, Semarang tidak lagi menjadi sekadar kota transit domestik, melainkan pintu gerbang ekspor-impor barang dan manusia dari dan ke dunia global.
Hal ini mendekatkan Jawa Tengah kepada potensi investasi asing langsung (FDI) yang lebih besar.
Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2025 menjadi payung hukum yang vital. Status internasional ini mempermudah investor asing menilai kelayakan Semarang sebagai basis operasi industri, perdagangan, dan pariwisata.
Sebab dalam teori konektivitas regional, aksesibilitas udara menjadi salah satu kunci utama percepatan pertumbuhan wilayah, seiring berkembangnya Kawasan Industri Kendal (KIK), Kawasan Industri Terpadu Batang, dan kawasan industri yang terdekat dari Semarang.Â
Konektivitas adalah pintu masa depan. Dengan Bandara Ahmad Yani menjadi internasional, Semarang bukan hanya membuka jalur udara, tapi juga membuka peluang emas untuk investasi, pariwisata, dan kemajuan ekonomi Nusantara.Â
Kesiapan infrastruktur Bandara Ahmad Yani memperkuat potensi ini. Dengan layanan CIQ (Bea Cukai, Imigrasi, Karantina) yang sudah aktif sejak melayani kargo internasional pada November 2024, bandara ini tidak lagi merangkak dari nol. Ini memperkecil "time to market" bagi penerbangan baru yang akan dibuka oleh maskapai seperti AirAsia, Scoot, dan Malindo.
Menurut teori bisnis penerbangan global, dalam fase pembukaan pasar baru, peran LCCs (Low Cost Carriers) sangat krusial. Maskapai seperti AirAsia membawa model bisnis berbasis volume, yaitu tarif rendah, frekuensi tinggi, sehingga bisa langsung menghubungkan Semarang ke hub internasional seperti Kuala Lumpur, Singapura, atau Bangkok.