Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Faidhur Rahman: Tafsir Berbahasa Jawa dari Kegelisahan Kartini

21 April 2025   22:32 Diperbarui: 21 April 2025   22:16 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Kartini beserta saudaranya mengajar kepada anak-anak di lingkungan kantor bupati Jepara (Sumber: jangkah.id)

Dalam lintasan sejarah Nusantara, RA Kartini dikenal sebagai ikon emansipasi perempuan. Namun narasi dominan yang beredar cenderung menempatkan Kartini dalam konteks sekuler-liberal, seolah-olah ia terpisah dari jejak spiritualitas Islam. Padahal, terdapat satu bab penting yang kerap terpinggirkan. Keterlibatan aktif Kartini muda dalam pengkajian al-Qur'an bersama KH. Sholeh Darat bin Umar Assamarany. Kisah ini bukan hanya bagian dari dimensi religius Kartini, tetapi juga tonggak sejarah dalam lahirnya tafsir Qur'an pertama dalam bahasa Jawa berhuruf Arab Pegon, Faidhur Rahman.

Pertemuan Kartini dengan KH. Sholeh Darat terjadi dalam konteks kehausan intelektualnya terhadap isi al-Qur'an. Kartini, remaja putri bangsawan Jawa yang lahir pada 21 April 1879 dari pasangan Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat dan Nyai Ngasirah, gelisah melihat bagaimana al-Qur'an hanya dibaca secara tartil tanpa akses pemahaman makna. "Mengapa kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat Islam justru tidak saya pahami?" keluh Kartini dalam salah satu suratnya. Kehausan ini mempertemukan dirinya dengan ulama besar Semarang, KH. Sholeh Darat.

KH. Sholeh Darat bukan ulama biasa. Ia adalah murid dari para ulama besar Makkah dan Mesir, dan memiliki reputasi keilmuan tinggi dalam ilmu tafsir, hadis, dan tasawuf. Ketika Kartini menyampaikan kegelisahannya, KH. Sholeh Darat menyadari adanya kebutuhan akan penafsiran al-Qur'an dalam bahasa lokal agar umat Islam di tanah Jawa dapat meresapi kandungan ilahiyah. Inilah yang kemudian memantik penyusunan Faidhur Rahman, sebuah tafsir Qur'an berbahasa Jawa dalam aksara Arab Pegon yang bercorak sufistik.

Kartini bukan hanya cahaya bagi emansipasi perempuan, tetapi juga lentera bagi pemahaman Qur'an dalam bahasa ibu. Lewat kegelisahannya, tafsir Faidhur Rahman lahir mewakili suara perempuan Jawa yang ingin dekat dengan Tuhannya dalam bahasa yang ia mengerti. 

Inisiatif ini sangat revolusioner. Dalam konteks kolonial, bahasa Jawa yang digunakan untuk menafsirkan wahyu bukan saja sebagai strategi kultural, tetapi juga tindakan resistensi terhadap narasi kolonial yang menstigmatisasi Islam sebagai agama yang kaku dan tidak adaptif. Tafsir berbahasa Jawa menjembatani spiritualitas Qur'ani dengan kearifan lokal, menjadikan Islam lebih membumi dalam konteks Jawa.

Hal yang menarik, Faidhur Rahman pertama kali dicetak pada tahun 1893 dan dibagi dalam dua jilid. Namun, kitab ini belum sempat dituntaskan hingga 30 juz karena keterbatasan usia KH. Shaleh Darat dan kondisi sosial-politik saat itu. Walau demikian, jilid yang berhasil disusun telah menjadi bahan rujukan penting dalam pendidikan keislaman pesantren hingga kini. Ia membawa corak tasawuf yang menekankan dimensi batin dalam memahami ayat-ayat Tuhan, selaras dengan ruh kebatinan masyarakat Jawa.

Kisah ini semakin menggugah ketika diketahui bahwa Faidhur Rahman adalah kado pernikahan KH. Sholeh Darat kepada RA Kartini pada 12 November 1903. Pemberian ini bukan sekadar simbol penghargaan, tetapi pengakuan atas peran intelektual Kartini dalam mendorong lahirnya tafsir Qur'an dalam bahasa Jawa. Ia bukan hanya pembaca pasif, melainkan penggagas awal yang membuka jalan bagi terjemahan Qur'an yang kontekstual dan inklusif.

Kartini melalui inisiatif ini telah menanam benih literasi Qur'an berbasis lokalitas jauh sebelum proyek penerjemahan al-Qur'an secara masif dilakukan oleh pemerintah kolonial maupun pasca-kemerdekaan. Ia memahami bahwa makna Islam tidak akan sampai kepada rakyat bila hanya dibungkus dalam bahasa Arab klasik tanpa jembatan kultural yang bisa dipahami masyarakat awam.

Lebih jauh, Faidhur Rahman merepresentasikan tafsir yang tidak hanya menekankan aspek hukum (fiqh) tetapi juga moralitas batin dan nilai-nilai kesetaraan. Dalam coraknya yang sufistik, tafsir ini banyak membahas makna cinta, keikhlasan, dan hubungan hamba dengan Tuhan yang bersifat personal, reflektif, dan penuh rahmat. Hal ini bersesuaian dengan visi Kartini yang mendambakan Islam sebagai agama yang memuliakan perempuan, cinta kasih, dan pencerahan batin.

Di balik lembar-lembar tafsir Pegon Faidhur Rahman, tersembunyi suara Kartini muda yang menolak kebodohan beragama. Ia menginspirasi KH. Sholeh Darat agar Qur'an tak sekadar dibaca, tapi dipahami. Inilah emansipasi spiritual, ketika ilmu, iman, dan perempuan bersatu di ruang tafsir. 

Sangat ironis jika hingga kini, warisan ini belum ditempatkan dalam panggung utama diskursus tafsir Nusantara. Kita cenderung mengingat Kartini dari kumpulan suratnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, tetapi kita lupa bahwa salah satu "surat" terpenting yang ia wariskan justru adalah mendorong kelahiran tafsir Qur'an berbahasa Jawa yang sarat makna. Tafsir ini bukan hanya teks, melainkan praksis pembebasan spiritual perempuan Jawa dari keterkungkungan dogma dan ketidaktahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun