Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dapur Makan Gratis Bangkrut, Potensi Korupsi Skema Bayar MBG?

16 April 2025   09:49 Diperbarui: 16 April 2025   09:49 1979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi negara adalah terobosan monumental dalam sejarah kebijakan sosial Indonesia. Namun seiring dengan niat baik itu, muncul realitas getir. Sejumlah dapur MBG kini terancam berhenti beroperasi. Kasus terbaru yang mencuat di Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, menjadi potret suram dari kegagalan manajemen operasional yang seharusnya bisa diantisipasi sejak awal.

Dalam laporan Kompas (16/4/2025), disebutkan bahwa dapur MBG di Kalibata telah menghabiskan dana hampir Rp950 juta untuk penyiapan tempat dan sajian. Lebih miris lagi, penyedia jasa katering yang memasok 65.025 porsi selama dua bulan itu belum juga menerima pembayaran. Mereka merugi hampir Rp1 miliar dan kini menggugat ke ranah hukum, teregistrasi dengan nomor LP/B/1160/IV/2025/SPKT/POLRES METRO JAKSEL/POLDA METRO JAYA .

Melihat kasus ini bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan tanda alarm bahwa skema bisnis MBG selama ini tidak berpihak pada logika ekonomi yang sehat. Pemerintah, melalui Badan Gizi Nasional (BGN), tampaknya belum sepenuhnya memahami karakteristik dunia katering modern.

Bisnis katering adalah usaha dengan arus kas cepat. Penyedia makanan tidak bisa menunggu sebulan, apalagi dua bulan untuk mendapatkan pembayaran. Bahan makanan harus dibeli harian, karyawan dibayar mingguan, dan distribusi harus presisi. Bila pembayaran tersendat, maka roda produksi akan macet total.

Sementara itu, skema MBG menuntut dapur berkapasitas besar dengan syarat minimal luas 20 x 20 meter dan kapasitas produksi 3.000 porsi per hari, atau 500 porsi untuk daerah terpencil. Ini bukan angka kecil. Modal awal yang dibutuhkan bisa mencapai miliaran rupiah. Siapa yang sanggup? Setiap hari dengan harga 15.000 ribu rupiah per porsi, maka mesti tersedia dana sekitar 45 juta tiap harinya bagi penyedia katering. UMKM jelas tersingkir sejak dalam wacana jika pembayaran tidak dalam sistem harian.

Memberi makan anak bangsa bukan sekadar niat baik, tapi soal sistem yang kuat. Jika dapur harus hidup, maka arus kas harus sehat. Negara harus hadir, bukan hanya mengatur, tapi menjamin agar penyedia tak tumbang dan UMKM bisa bangkit bersama.

Ironisnya, program yang mengatasnamakan rakyat ini justru lebih berpihak pada vendor besar yang punya kekuatan modal, kapasitas logistik, dan daya tahan kas. Ironisnya, pemain besar pun kini mulai mengeluh. Bila pembayaran tertunda, bahkan mereka pun bisa kolaps. Kasus Kalibata adalah buktinya. Selain dapur harus berhenti, upah relawan maupun juru masak MBG di berbagai daerah yang berada di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) menjadi faktor pemicu pengunduran diri.

Badan Gizi Nasional (BGN) maupun Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang bertanggung jawab atas distribusi program, sayangnya belum memiliki tata kelola keuangan yang tangguh. Sistem monitoring transparan dan dashboard pelacakan pembayaran belum tersedia secara publik. Katering yang menggantungkan hidupnya pada kontrak ini terjebak dalam ketidakpastian.

Lebih jauh, kasus ini berpotensi melahirkan konflik hukum dan reputasi. Penyedia jasa katering Kalibata bahkan sudah melaporkan pihak penanggungjawab MBG ke Polres Metro Jakarta Selatan. Ini adalah puncak dari frustrasi pelaku usaha yang telah mengorbankan modal dan tenaga demi menjalankan mandat negara.

Dari perspektif ekonomi mikro, struktur pembiayaan MBG saat ini tidak efisien. Tidak ada skema pembayaran fleksibel seperti advance 30%, termin mingguan, atau sistem escrow yang dapat menjamin kelangsungan dapur. Seharusnya, negara belajar dari sistem pengadaan makanan darurat seperti dapur bencana milik BNPB yang jauh lebih adaptif.

Selain itu, program MBG juga tidak membuka cukup ruang bagi UMKM lokal untuk terlibat. Padahal, jika dikelola dengan baik, MBG bisa menjadi mesin penggerak ekonomi komunitas. Sayangnya, persyaratan administratif dan ukuran dapur membuat pelibatan UMKM hanya sebatas jargon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun