Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Baratan di Jepara, Jejak Sejarah Wafatnya Sultan Hadlirin

12 Februari 2025   14:08 Diperbarui: 12 Februari 2025   14:08 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap malam Nishfu Sya'ban atau 15 bulan sya'ban, masyarakat Jepara menggelar tradisi Baratan, sebuah perayaan budaya dan religius yang telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini bukan sekadar ritual penyambutan bulan penuh berkah, melainkan memiliki akar historis yang erat dengan wafatnya Sultan Hadlirin, menantu Sultan Trenggono dan suami dari Ratu Kalinyamat, yang gugur akibat pembunuhan oleh Arya Penangsang pada abad ke-16.

Wafatnya Sultan Hadlirin di Kudus memunculkan historiografi toponimi beberapa daerah di Kudus dan Jepara. Lokasi peristiwa tragis ini menjadi penanda sejarah yang diabadikan dalam nama-nama tempat yang ada hingga kini.

  • Jember, tempat pertama di mana darah Sultan Hadlirin mengalir deres dan membuat kondisi becek saat ia ditikam.
  • Prambatan, perjalanan rombongan yang membawa jasad Sultan Hadlirin dilakukan dengan cara merambat-rambat melalui pohon-pohonan di sekitar jalan.
  • Kaliwungu, sungai yang dilalui berubah warna menjadi keungu-unguan akibat bercampur darah.
  • Klisat, kali yang kering (asat) yang dilintasi oleh rombongan pembawa jenazah, dan kini menjadi kawasan di Desa Mijen.
  • Papringan, kawasan yang penuh dengan pepohonan bambu, tempat peristirahatan sementara. Dan di daerah ini terdapat cucu dari keponakan Ratu Kalinyamat atau cucu Sultan Prawoto bernama Danang Syurokol, anak dari Ibu Mas Semangkin.
  • Pringtulis, nama kawasan berasal dari bambu kuning yang digunakan untuk menuliskan kabar duka bagi Ratu Kalinyamat. Bambu dalam bahasa Jawa adalah Pring, dan menuliskan kabar duka adalah Tulis. Di daerah ini juga terdapat saudara kembar dari Danang Syurokol bernama Danang Syarif Hadiwoso yang merupakan anak dari Ibu Mas Semangkin.
  • Mayong, sebagai penamaaan dari rombongan yang kelelahan berjalan dengan sempoyongan atau "moyang-moyong". Di daerah ini juga terdapat keponakan dari Sultan Hadlirin dari istrinya, Ibu Mas Semangkin yang kemudian hari menjadi istri dari Danang Sutowijoyo atau Panembahan Senopati, Sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan Mataram Islam
  • Tiga Juru, lokasi bercabang tiga yang membingungkan rombongan sebelum sampai di Kesultanan Jepara.

Baratan bukan sekadar tradisi, tetapi jejak sejarah yang menyala dalam obor, menerangi ingatan atas pengorbanan dan kesetiaan Sultan Hadlirin serta Ratu Kalinyamat.

Setibanya di Kesultanan Jepara yang saat itu berada di pesisir Welahan, kabar wafatnya Sultan Hadlirin menimbulkan duka mendalam. Masyarakat segera menyalakan obor di sepanjang jalan sebagai bentuk penghormatan dan ekspresi kesedihan atas wafatnya pemimpin mereka. Inilah cikal bakal tradisi Baratan yang berlangsung hingga sekarang.

Makna Religius dalam Baratan

Tradisi Baratan memiliki akar spiritual yang kuat, dikaitkan dengan Surat At-Taubah dalam Al-Qur'an yang diawali tanpa Basmalah. Kata "Baraatun" dalam surat ini bermakna pelepasan atau pemutusan hubungan, mencerminkan sumpah "Topo Wudho" yang diikrarkan Ratu Kalinyamat setelah kematian suaminya. Sebagai wujud permohonan rahmat dan pengampunan, masyarakat Jepara mengiringi Baratan dengan pembacaan Surat Yasin sebagaimana tradisi malam Nishfu Sya'ban.

Gotong royong membuat kue puli untuk peringatan baratan di Sidialit (Sumber: medcom.id)
Gotong royong membuat kue puli untuk peringatan baratan di Sidialit (Sumber: medcom.id)

Selain itu, rombongan lampion atau impes yang menghiasi perayaan ini merupakan representasi visual dari prosesi duka cita masyarakat Jepara atas wafatnya Sultan Hadlirin. Cahaya lampion melambangkan harapan dan doa yang dipanjatkan untuk keselamatan serta kemuliaan sang pemimpin di alam baka. Sebagai ciri khas, dihidangkan makanan yang terbuat dari beras yang dicampur dengan bleng dan dinamakan puli. Penamaan puli ini dianggap berasal dari bahasa Arab, afwu li, yang berarti maafkanlah aku. Sebuah simbol saling memaafkan dan berharap ampunan dari Allah.

Di setiap cahaya lampion Baratan, tersimpan doa dan harapan, sebagaimana masyarakat Jepara mengenang pemimpinnya dengan kebanggaan dan keikhlasan.

Tradisi Baratan bukan hanya sebuah perayaan, melainkan bentuk penghormatan terhadap sejarah dan warisan leluhur. Peristiwa tragis yang menimpa Sultan Hadlirin menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Jepara dan Kudus, terjalin erat dengan aspek keislaman, kepemimpinan, serta perjuangan Ratu Kalinyamat. Melalui Baratan, generasi muda diajak untuk mengenal sejarah tanah kelahirannya dan memahami nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam setiap ritualnya. Tradisi ini menjadi bukti bahwa sejarah bukan hanya sekadar cerita masa lalu, tetapi juga pijakan bagi masa depan dalam menjaga keberagaman budaya dan spiritualitas masyarakat Jepara.

Dengan semangat yang sama, Baratan terus dilestarikan sebagai wujud kebanggaan dan penghormatan terhadap sejarah serta nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Malam Nishfu Sya'ban pun semakin bermakna, bukan hanya sebagai malam penuh doa dan harapan, tetapi juga sebagai refleksi atas perjalanan sejarah yang membentuk Jepara hingga hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun