Bare Minimum Living merupakan usaha, tindakan, ataupun standar mendasar yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan harmonisasi hidup. Hal ini mencakup perkara-perkasa mendasar yang diinginkan dari proses dan perjalanan hidup agar terlihat baik. Sederhananya, bare minimum menjadi satu pondasi dasar yang dinormalisasikan harus ada dalam setiap proses kehidupan. Lalu bagaimana dengan tren oversharing pengguna media sosial terkait bare minimum living seseorang?
Akhir-akhir ini terjadi kontradiksi tentang fenomena bare minimum living di media sosial, di mana konsep hidup minimalis, santai dan sederhana, justru berubah menjadi standar baru yang sulit dicapai. Tujuan awal bare minimum living adalah menjadi bentuk perlawanan terhadap hustle culture (gaya hidup bertekanan tinggi), akan tetapi yang terjadi justru menimbulkan tekanan sosial baru. Hal ini disebabkan karena kehidupan yang terlihat sederhana dan santai di media sosial selalu dikemas dengan estetika sempurna dan nampa tanpa cela. Bagaimana ciri bentuk kontradiksi bare minimum living di media sosial?
Kesederhanaan yang dikonstruksi dengan estetika
Tidak dapat dipungkiri bahwa esterika suatu konten media sosial dapat menarik daya tarik, engagement dan interaksi netizen. Akan tetapi dengan menunjukkan rutinitas pagi yang "sederhana" itu berbentuk menikmati kopi dengan cangkir estetik di balkon kamar, menulis ataupun membaca di atas furniture kayu klasik, dan lain sebagainya. Hal ini justru menciptakan kesan bahwa kesederhanaan hidup itu harus tetap terlihat indah secara visual. Padahal untuk menggapai hal-hal tersebut diperlukan cost yang cukup tinggi. Apakah ini benar-benar bare minimum living masa kini? Lalu bagaimana yang belum bisa meraihnya? Apakah gagal dalam hidup?
Standarisasi kesederhanaan yang tidak realistis
Bentuk lain dari konten bare minimum living yang tersebar di media sosial adalah bagaimana seseorang berpakaian. Digambarkan bahwa seseorang yang mencapai bare minimum living adalah mereka yang bisa bekerja dengan santai dari rumah mengenakan baju polos. Padahal jika ditelisik pakaian "polos" yang dikenakan influencer dalam konten tersebut adalah baju polos yang berkulias tinggi seperti linen, wol maupun katun organik. Dari penggambaran ini, lalu dimana posisi orang-orang yang setiap harinya harus mengenakan seragam dengan berbagai atributnya dalam bekerja? Apakah mereka tidak mencapai bare minimum living?
Ekspektasi baru terhadap ketenangan hidup
Efek samping dari konten bare minimum living yang sering menjadi tren di media sosial adalah akan memunculkan angan-angan yang sulit dalam menjalani hidup. Seseorang yang sebelumnya merasa hidupnya normal-normal saja akan merasa bahwa hidupnya kian tertinggal. Karena penggambaran bare minimum living yang ternyata sudah tinggi. Seorang pekerja dengan intensitas tinggi yang sudah mulai terbiasa dengan kesibukannya dari pagi, pasangan yang dulunya melihat kekasihnya sudah cukup baginya, seorang ibu yang biasa menjalani kegiatan kerumahtanggaannya, akan merasa minder, jatuh dan tertinggal dengan penggambaran atau penetapan bare minimum living sepihak.
Ironi perjuangan untuk hidup santai
Dengan berlombanya influencer dalam menggambarkan dan menetapkan bare minimum living terkini ternyata menjadikan hidup santai tidak lagi santai. Hal ini banyak menjadikan orang lain menjadi fear of missing out atau FOMO. Memang tidak semua, namun tidak sedikit bagi mereka yang mudah terpengaruh akan tersugesti untuk mencapai bare minimum living  masak kini. Padahal ia tidak menyadari bahwa ternyata standar kebahagiaan hidupnya telah diatur orang lain.
Pada akhirnya mari kita sadari bersama bahwa bare minimum living itu bertujuan untuk mengurangi tekanan. Hidup sederhana tidak seharusnya menjadi kompetisi atau perlombaan. Karena dengan mengikuti bare minimum living seseorang akan menimbulkan rasa rendah diri dan perasaan tidak puas karena ternya realitas hidupnya tidak sesuai dengan apa yang ada di media sosial. Maka berbahagialah dengan apa yang saat ini dicapai. Mengendalikan batas kesederhanaan kita adalah cara paling indah untuk mencapai kebahagiaan diri kita sendiri. Jangan jadikan kesederhanaan hidup menjadi kompetisi. Jika harus berkompetisi, maka berkompetisilah dengan diri kira di masa lalu. Tentu hal ini lebih memacu kita dalam berkembang dan hidup tenang.