Media sosial dulunya dijanjikan sebagai penghubung: mendekatkan yang jauh, mempererat keluarga, memperluas relasi. Namun, semakin ke sini, ia sering terasa seperti jurang yang perlahan menarik kita jatuh. Kita terhanyut, bahkan bisa terluka tanpa sadar.
Opini di The Wall Street Journal menyoroti sisi gelap dunia ini: algoritma yang membuat kita betah berlama-lama, konten yang memicu rasa minder, hingga tekanan sosial yang membuat cemas. Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang layak dipersalahkan?
Antara Manfaat dan Luka yang Tak Terlihat
Media sosial memang punya sisi terang. Ada yang berhasil menemukan pekerjaan, memperluas jejaring, hingga mendapatkan komunitas tempat ia merasa diterima. Namun, ada pula sisi bayangan.
Studi kesehatan mental menunjukkan, remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial berisiko dua kali lipat mengalami kecemasan atau depresi. Bahkan, risiko kesepian, gangguan tidur, dan rendahnya rasa percaya diri makin nyata.
Namun, menariknya, penelitian juga mengungkap bahwa penggunaan secukupnya (sekitar 1--3 jam sehari) tak selalu buruk. Jadi masalah utamanya bukan pada aplikasi itu sendiri, melainkan pada cara kita menggunakannya.
Algoritma: Sahabat atau Perangkap?
Kita jarang menyadari bahwa fitur sederhana seperti like, notifikasi, atau rekomendasi video bukanlah hal netral. Semua dirancang agar kita terus kembali, terus menggulir, dan sulit berhenti.
Sebuah laporan bahkan menyebut Instagram masih menggunakan fitur yang berpotensi berbahaya bagi remaja, seperti pesan yang hilang otomatis atau rekomendasi konten ekstrem. "Platform tahu apa yang mereka lakukan. Mereka membangun produk yang membuat orang ketagihan," ujar seorang pakar etika digital.
Suara dari Lapangan: Antara Lelah dan Tak Bisa Lepas
Fenomena ini nyata. Banyak orang sudah merasakannya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!