Setiap akhir September, ruang publik Indonesia selalu punya satu ritual lama: perdebatan soal film Pengkhianatan G30S/PKI. Generasi orang tua kita menontonnya sebagai tontonan wajib, kadang dengan rasa takut, kadang dengan patuh, karena itu adalah agenda negara. Tapi bagi Gen Z, yang tumbuh di tengah arus informasi digital, film ini jadi sesuatu yang lain sama sekali.
Dari propaganda ke tontonan usang
Film ini dibuat di masa Orde Baru. Narasinya jelas: PKI ditampilkan sebagai pengkhianat biadab, militer sebagai pahlawan penyelamat bangsa. Setiap adegan disusun untuk menanamkan rasa benci dan waspada. Bagi generasi 80-an dan 90-an, film ini bukan sekadar hiburan, melainkan pengajaran politik.
Kini, ketika film ini sesekali diputar di TV atau platform daring, posisinya berubah. Bagi sebagian anak muda, film ini terlihat usang, penuh dramatisasi, bahkan membosankan. Namun, justru di situlah menariknya: film ini bisa dilihat sebagai artefak sejarah media, bukan kebenaran sejarah mutlak.
Suara Gen Z: antara kritis, sinis, dan masih terpengaruh
Di media sosial, suara Gen Z soal film ini beragam. Ada yang kritis, ada yang sinis, ada pula yang masih menerima narasi lama.
"Nonton lagi G30S/PKI. Banyak adegan yang jelas dramatisasi. Googling sedikit aja langsung kelihatan mana yang dilebih-lebihkan. Aneh juga ya, dulu bisa dipake buat doktrinasi," tulis seorang warganet di Twitter.
"Kalau ada versi remake, mungkin jadinya kayak film Marvel. Tapi jujur, yang lama ini lebih serem, bukan karena horornya, tapi karena propagandanya," ujar kreator TikTok dengan nada bercanda.
Namun, tidak semua suara bernada kritis:
"Apapun katanya, PKI itu tetap bahaya. Film ini pengingat biar kita jangan lengah," tulis seorang mahasiswa di forum daring.
Dari sini terlihat: Gen Z lebih punya jarak terhadap film. Mereka bisa menertawakan sekaligus mempertanyakan, tetapi jejak propaganda masih terasa---narasi besar tentang PKI sebagai musuh bangsa tetap melekat.