Anak-anak kita tumbuh di zaman yang serba cepat, penuh tantangan sekaligus peluang. Mereka tidak hanya perlu bisa membaca, berhitung, atau menghafal teori. Dunia menuntut lebih: kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, berkreasi, hingga melek digital. Inilah yang sering disebut kompetensi abad 21.
Indonesia sebenarnya tidak ketinggalan. Pemerintah sudah mengumandangkan reformasi pendidikan di forum internasional, memperkenalkan Kurikulum Merdeka, dan meluncurkan platform digital agar sekolah lebih terhubung dengan kebutuhan zaman. Di atas kertas, langkah-langkah ini terdengar menjanjikan. Tapi mari kita jujur, di ruang kelas, realitanya tidak selalu seindah rencana.
Ketika Niat Bertemu Kenyataan
Ambil contoh SMA Perintis 1 di Bandar Lampung. Dengan semangat tinggi, sekolah ini mulai menerapkan Kurikulum Merdeka. Namun, guru-gurunya masih kebingungan menyusun modul ajar atau menilai siswa lewat proyek otentik. Banyak yang akhirnya kembali pada cara lama: ceramah dan ujian tertulis. Padahal inti Kurikulum Merdeka justru ada pada pengalaman belajar yang mendorong siswa berpikir kritis dan kreatif.
Lalu ada kisah dari SDN 209/III Masgo Jaya, sebuah sekolah di daerah terpencil. Guru-gurunya berjuang keras dengan keterbatasan fasilitas, akses internet yang nyaris tidak ada, dan dukungan orang tua yang terbatas. Literasi digital dan kreativitas sulit difasilitasi karena perangkat pun tidak tersedia. Namun, mereka tidak menyerah. Lingkungan sekitar dipakai sebagai laboratorium hidup, mulai dari kebun sekolah hingga kehidupan masyarakat desa.
Di Mana Letak Masalahnya?
Kalau ditarik garis lurus, problem utamanya bukan pada kurangnya niat. Justru semangat perubahan sudah ada. Masalahnya ada di jarak antara kebijakan dan kenyataan.
- Guru belum sepenuhnya siap dengan metode baru.
- Fasilitas sekolah masih timpang antara kota dan desa.
- Kurikulum baru kadang dianggap "beban tambahan", bukan napas pembelajaran.
- Penilaian masih dominan ujian pilihan ganda, padahal dunia nyata tidak sesederhana itu.
Hasilnya? Sekolah-sekolah di perkotaan bisa lebih cepat beradaptasi, sementara sekolah di pelosok berjalan terseok-seok.
Jalan Keluar yang Mungkin
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Beberapa langkah sederhana bisa membawa perubahan nyata:
1. Bekali guru secara berkelanjutan -- bukan hanya seminar sehari, tapi pelatihan mendalam, mentoring, dan komunitas guru lintas sekolah.