Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Roman: Latah (2)

26 Februari 2014   16:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nurhayati duduk di pelataran kantornya setelah jam rehatnya siang itu, ia menunggu dengan sangat sabar kedatangan seseorang yang begitu mendebarkan hatinya. Ia memandang-mandang siangnya yang sangat cerah, tangannya bersimpul manis bak seorang yang kasmaran. Lalu-lalang orangpun jarang disadari, kadang ada yang menegur, “buk yati, sedang apa duduk sendirian”, ia hanya tersenyum, kadang juga itu seperti angin yang numpang lewat saja.

Tempat itu ramai, banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berjuang untuk menyelesaikan studi kesehatannya saat itu, ada yang berkat inisiatif sendiri, karena menganggap tenaga kesehatan di Kota masih sangat jarang, sehingga peluang untuk menjadi pegawai dapat terbuka lebar, mereka menganggap itu kesempatan yang baik. ada juga sebagian lain yang hanya hendak mengisi status penganggurannya setelah lulus dari SMA, tak punya motifasi lebih selain untuk cepat lulus, atau juga kalau dapatlah rezeki nomplok di tengah studinya bisa pindah ke sekolah atau perguruan tinggi yang lebih bonafit, di Lombok, Jawa, dan Sulawesi.

Kenyataan yang harus diterima oleh mereka, mahasiswa/i tersebut adalah keinginan yang tak terbalas usaha. Usaha mereka untuk menjadi manusia dan orang yang lebih baik, keinginan untuk menjajakan sekolah bergengsi lebih tinggi dari keinginan untuk mencari ilmu. Selain itu tidak jarang juga orang tua mereka betul-betul tak punya biaya lebih untuk sekedar menyanggupi keinginan anaknya masing-masing. tidak penting seorang berilmu atau tidak, yang dianggap adalah di mana ia bersekolah. Kalau disebut daerah jawa atau juga Sulawesi tempat seorang itu bersekolah, akan naiklahlah strata sosialnya, pandangan orang akan berbeda.

Sedang asyiknya menunggu, nurhayati tersentak karena di sampingnya sudah ada teman karibnya sesama pengajar. Entah mulai kapan ia berada di samping yati.

“ti, yati”, ia menegur.

“ah kamu ida, bikin kaget saja”. Yati cepat-cepat mengambil kesadarannya embali.

“apa yang kau pikirkan yati” tanyanya.

“tak ada apa-apa, saya lagi santai saja sambil menunggu jam kuliah berkutnya”

“tapi nggak biasanya kamu duduk di sini, biasanya juga balik ke kantor, ngumpul sama guru-guru yang lain, jangan-jangan yati”

“tidak usah menduga-duga yang tak wajar”

Sekilas ida mengamati tempat dimana yati sedang asyik duduk, pelataran itu sangat dekat dengan pintu gerbang, pasti dia sedang menunggu seseorang. Ida yakinkan dalam hatinya. Melihat yati yang tak biasa seperti itu, ida memilih untuk pamit, ia selanjutnya akan menanyakan nanti pada saat jam pulang.

“ti, saya masuk duluan ya, masih ada pekerjaan, sampai ketemu nanti yati, oh iya semoga yang ditunggu lekas datang”, sahutnya sambil tersenyum.

“ia ida”, jawab yati kurang menghiraukan.

Lima belas menit yati menunggu seorang itu, iapun sudah mulai resah, sebentarpun akan ada mata kuliah yang harus ia berikan. Ia bangun dari duduknya, melihat-lihat arah pintu gerbang, melihat lagi jam tangannya yang mungil, melihat lagi pesan yang mungkin sampai pada handphonenya. Tak ada, belum ada tanda-tanda seorang itu akan datang, ia menarik napas dan melihat lagi pada handphonenya. Ia tak akan datang. Yati sudah mengabari kalau ia hanya punya waktu barang sebentar saja setelah makan siang pada seorang itu, setelahnya ia harus kembali mengajar. Betul saja yati kembali ke kantor dan segera beranjak untuk masuk kelas. Seorang itu tak datang.

Yati termasuk pengajar yang disegani di sekolah itu, ia terkenal dengan disiplin dan totalitas dalam mengajar, tak jarang mahasiswa/inya bergumam. Gumam yang paling tak baik mungkin muncul dari masyarakat Kota ini, masyarakat mbojo, segala jenis umpatan. Untung saja umpatan itu tak pernah diterima yati.

Yang membentuk sebagian besar watak yati tentu orang tuanya sendiri, terutama haji Mansur. Ayahnya sendiri dulunya adalah seorang guru, tahu bagaimana mendidik, bagaimana disiplin pada siswa yang tak ikut arahan, dan tentu saja sangat kenal dengan kata sabar. Jumlah saudara yati hampir sama dengan jumlah satu tim sepakbola, untuk itu yati punya persediaan kebesaran mental melimpah. Ia terdidik hidup penuh keterbatasan dan sederhana. Sandang dan pangan sering dibagi, jauhlah dari rasa kenyang atau puas. Ia sangat bersyukur dengan semua itu, keterbatasan-keterbatasan yang membimbing untuk paham tentang arti hidup.

Saat ia mengajar, ia kemudian menerima pesan dari handphonenya “yati maafkan saya, saya tidak jadi datang, sekali lagi maafkan saya”. Sebentar ia terdiam, tapi ia mengambil lagi kesadaran penuh, karena mengingat masih dalam kelas. Begitu hebatnya gejolak perasaannya yang sesaat itu.

Tibalah waktu pulang, ia kemudian memunculkan kembali ingatan akan pesan yang ia baca sewaktu dalam kelas. Perasaannya tak bisa ia keluarkan, tak baik karena masih di tempat ramai. “sial saya hari ini, menunggu tanpa kabar, apa dia tahu saya menunggu sampai hampir telat masuk kelas, ah laki-laki. Kabar yang telatpun hanya dikirim lewat message, awas kau”. Perasaan yang semula berbunga menjadi kekecewaan.

Ia berjalan lemas menuju pintu gerbang, setengah tak sadar ia kemudian terdiam, ia menemukan kembali kemarahan yang semula, ia keluarkan dalam gumamnya sendiri. Dengan mata tajam yang tertuju pada sesuatu, ia kemudian mempercepat jalannya, seakan-akan ia menjadi asing dilingkungan itu, ia menghindari keramaian yang terjadi pada saat kepulangan itu.

“yati, nurhayati”.

Yati semakin mempercepat jalannya.

“yati, tunggu yati”.

Yati merasa letih setelah mengambil langkah cepat, iapun berhenti, menoleh kebelakang. Ia menunggu sesaat, melihat seseorang berjalan mendekatinya, ia ingin mendengar kata yang keluar dari orang tersebut. Ia memperhatikan dengan serius wajah yang ada di hadapannya.

“yati, maafkan saya”

“kamu”, ia menahan perasaan marahnya.

“maafkan saya yati, saya betul-betul salah, saya mendadak dipanggil oleh pimpinan”.

“san, kamu tak tahu saya tadi siang menunggu. Engkau saya tunggu san, tapi kabar atau messagemu juga tak ada. Kita belum lama janjian, tapi kau sudah saja seperti ini, dan pesanmu yang telat itu, kau pikir saya…..”, ia tak melanjutkan kata-katanya.

Yati menarik napasnya, ingin melanjutkan.

“ah sudahlah”

“maafkan saya yati”, hasan memandangi nurhayati, pandangan sebagai permintaan maaf. Begitu pandangan itu sampai pada mata yati, kata maaf tak perlu lagi diucapkan, karena yati hanya menunggu kejujuran setelah tatapan itu berakhir.

Hasanpun tahu saat itulah waktu yang baik untuk menyampaikan maksud.

“yati, boleh saya sampaikan maksud”

“iya, hal apa itu hasan”

Kemudian hasan menyampaikan niatnya untuk menuju pada jenjang kehidupan yang lebih jauh. Ingin menapaki hidup sebagai sempurnanya makhluk. Membina bahtera rumah tangga bersama nurhayati. Mereka berdua sadar bahwa hal itulah yang sama-sama dinanti, walau sebetulnya ucapan dari hasanlah yang dinanti. Ajakan menuju jalan suci.

Yati mendengar dengan hati yang tak biasa. Seperti menjadi makhluk yang merdeka, membuka pintu ke alam yang selama ini ia risaukan. Ia mendengar dengan baik-baik, setiap kata yang dikatakan hasan, inilah yang ia tunggu, tapi tak bisa ia tunjukkan semua itu di hadapan hasan.

Selepas isya, yati menceritakan kejadian itu pada kakaknya. Saat ini ia masih tinggal menumpang di rumah saudara. Begitu mendengar hal tersebut, kakak kandungnya hanya tersenyum dan bersyukur dalam hati. Yati menceritakan kegembiraan hatinya yang tak mungkin bisa ia sembunyikan.

“walau ia sudah buat yati menunggu, hasan akhirnya bicara juga soal itu kak, ah kak yati bahagia sekali hari ini”, matanya berbinar.

“Alhamdulillah ti, sebentar lagi kamu juga akan berkeluarga”.

“kapan hasan bicara sama ayah”

“iya kak, ia bilang akan menemui ayah sekitar satu sampai dua minggu kedepan”.

“nanti kakak sampaikan berita ini sama saudaramu yang lain, biar kita sama-sama persiapkan”

“iya kak, terimakasih”.

Tiba-tiba suasana haru adik kakak itu berganti karena suami kakak yati masuk dalam pembicaraan itu.

“ah yati, bagaimana kabar hasan”, sahutnya.

“alhamdulillah baik Dae di”. Di Bima, Dae adalah sebutan untuk seorang laki-laki yang punya keturunan bangsawan, orang yang dituakan.

“kapan kita makan-makannya, sudah lama juga saya tidak makan sate kambing dan soto, nanti saya sumbang lagu untuk gantinya”, kemudian ia tertawa kecil.

“Dae di, hasan saja belum ketemu ayah”, sahut kakak yati.

“ya pasti jadilah, yati saja sudah ketahuan maunya”, kemudian ia lanjut merayu.

“iya Dae di, hasan juga belum ketemu ayah, insyaAllah seminggu sampai dua minggu ke depan. Ia nanti Dae di wajib sumbangkan lagu”. Balas yati.

“dae di ada-ada saja”.

“mudah-mudahan lancar, amin”, sahut Dae di.

Setelah kejadian hari itu, yati punya  hari yang lebih sibuk, terutama pikirannya. Bukan hanya tentang hari pernikahannya, tapi tentang kewajibannya di sekolah, ia punya amanat lebih, yang selanjutnya akan menjadikannya sebagai orang yang punya pengaruh pada sekolah itu.

Sebagaimana citanya setiap perempuan di bumi manusia ini, yati ingin menjadikan hal pernikahan sebagai suatu pintu keberkahan, pintu yang akan membuka kebahagian-kebahagian lainnya, pintu untuk menyempurnakan iman, gerbang untuk membina calon generasi madani. Menurutnya hal inilah yang sekali dalam hidup. Iapun merasa selama ini sudah mempersiapkan hal tersebut, pendidikan orang tuanya, sekolahnya, pengalamanya telah jadikan pondasi untuk kehidupan selanjutnya.

Sangat merugi perempuan yang tidak seperti ini, yang tak pandai menahan perasaan dan nafsu. Tergugah kemilau materi dan janji sementara. Terkadang hanya nikmat fisik pula yang didapat. Banyak temannya yang berpendapat, bahwa kehidupan perempuan setelah menempuh samudera berumahtangga tergantung pada nahkodanya, nahkoda mengarah ke kanan, ke kiri atau mundur sekalipun akan tetap ditegakkan keyakinan patuhnya itu. Sebab itu banyak yang hampir kandas hanya karena arus.

Yati sangat mengerti tentang suatu hal yang ada dalam kitabnya, dalam Alqur’an, bahwa “perempuan dan anak adalah cobaan untuk seorang laki-laki”, untuk itu ia persiapkan diri, dan ia meyakini bahwa “seorang wanita yang baik pada akhirnya akan bertemu dengan laki-laki yang baik”. ini meneguhkannya pada hal-hal yang telah lalu, ia tak menyesal, ia tak juga ragu. Bukankah manusia yang terburuk, pendosa atau juga penjahat sekalipun, setelah sampai pada waktunya nanti, akan berpikir jua bahwa ia ingin yang baik, ingin menjadi baik, ingin meninggalkan sesuatu yang baik. Pintar-pintar berhitung, pintar-pintar menimbang, karena itu semua akumulasi sejarah hidup.

(bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun