Mohon tunggu...
Muhammad Idris
Muhammad Idris Mohon Tunggu... Dosen Ilmu Komunikasi FSIKP Universitas Muslim Indonesia

Pengamat Masalah Sosial, Budaya, literasi, media, Pendidikan, Komunikasi dan Kebijakan Publik

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Seruan Kebangkitan Literasi Untuk Gen Z di Harkitnas

25 Mei 2025   10:30 Diperbarui: 25 Mei 2025   06:21 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Siang itu, suasana ruang Teleconference Gdb FK UMI lantai 5 tampak berbeda. Ratusan mahasiswa (Gen Z) dan para dosen secara tertib antre di meja registrasi, bersemangat mengisi daftar hadir untuk acara Digital Literacy Boothcamp yang digelar Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Sastra, Ilmu Komunikasi dan Pendidikan (FSIKP) Unversitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, Rabu (21/5).

Dua momentum penting mewarnai acara ini: peringatan hari kebangkitan nasional (harkitnas), 20 Mei dan 27 tahun reformasi, 21 Mei. Tapi bagi mereka yang hadir di acara ini, merayakan kedua momen penting ini tidak harus dirayakan lewat aksi turun jalan, berorasi menggunakan speaker besar, gelar spanduk dan membakar ban bekas.

Di benak 200 orang peserta boothcamp hari itu, yang lebih penting adalah memanfaatkan kesempatan untuk mengasah kemampuan literasi digital—senjata utama melawan hoaks, misinformasi, dan penipuan di era AI bersama narasumber.

Sebagai seorang pemantik, Penulis melihat antusiasme ini sebagai secercah harapan ditengah sorotan soal minimnya kemampuan literasi Gen Z saat ini. Tapi di balik itu, ada keresahan yang menggelitik: mengapa Gen Z, yang disebut digital native, justru rentan terjebak dalam pusaran informasi palsu? Sebuah paradoks yang perlu segera dicari jalan keluarnya.

Data Digital 2023 oleh We Are Social dan Hootsuite menyebutkan, 99% Gen Z Indonesia (usia 18-26 tahun) mengakses internet setiap hari, dengan rata-rata 8,5 jam dihabiskan untuk media sosial. Namun, riset Nielsen Group (2024) mengungkap fakta ironis: hanya 32% yang mampu membedakan berita valid dan hoaks.

Di boothcamp itu, Dr. Zelfia,M.Si -- Ketua Prodi Ilmu Komunikasi FSIKP UMI, menyoroti hal serupa: "Generasi muda adalah kelompok paling aktif sekaligus paling rentan terpapar disinformasi." Hal Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan sebuah bentuk krisis berpikir kritis.

Contoh nyata? Kasus deepfake politikus yang viral pekan lalu. Banyak mahasiswa—yang notabene melek teknologi—langsung membagikan tanpa verifikasi. Padahal, alat deteksi AI seperti Google Reverse Image Search bisa digunakan dalam hitungan detik.

Hoaks, Penipuan Digital dan "Lapar" Validasi

Salah satu pembicara dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Makassar -- Hamsar Hasfat dalam sesinya bercerita tentang modus phishing terbaru: tautan undian palsu mengatasnamakan e-commerce ternama. "Korban terbanyak justru anak muda," ujarnya.

Modus pelaku makin canggih. Berdasarkan Data Kaspersky Lab (2023) ditemukan fakta bahwa 65% korban scam online di Indonesia berusia 18-30 tahun. Akar masalahnya cukup kompleks.

Pertama; Kebutuhan akan validasi instan. Dalam hal ini, Gen Z terbiasa dengan instant gratification—like, share, dan comment dianggap sebagai bentuk partisipasi, tanpa peduli akurasi konten.

Kedua; soal kemalasan kognitif. Survei Pusat Studi Literasi UGM (2023) menunjukkan, hanya 1 dari 5 mahasiswa yang membaca artikel hingga tuntas sebelum membagikannya.

Ketiga; Efek ruang gema (echo chamber) dimana Algoritma media sosial telah menjebak kita dalam bubble opini yang homogen, memupuk keyakinan semu bahwa "semua yang saya baca pasti benar."

Literasi adalah Senjata Vital di Era AI

Mengapa gerakan literasi sangat penting dan mendesak? Sebagai pemantik diacara ini Penulis mencoba mengurai problematika yang terjadi saat ini sekaligus mengingatkan ancaman baru: ketergantungan pada AI seperti ChatGPT dan aplikasi serupa.

“AI bisa menulis segalanya, tapi tidak bisa mengajarkan etika”. Sebab itu, kemampuan analisis lewat keterampilan literasi menjadi syarat mutlak terhindar dari penipuan dan terpapar hoaks.

Bayangkan saja, data Reuters (2023) menyebutkan jika 58% orang Indonesia terpapar misinformasi seminggu sekali. Akibatnya kondisi ini memicu konflik sosial, kerugian ekonomi, bahkan ancaman demokrasi.

Data dari McAfee (2024) juga mencatat bahwa 77% orang sulit membedakan konten asli dan deepfake. Sementara serangan phising (penipuan) meningkat 65%, berdasarkan data Kaspersky Lab (2023).

Sebuah penelitian Stanford University (2025) menemukan bahwa 40% mahasiswa mengakui menggunakan AI untuk tugas tanpa menyunting atau memverifikasi outputnya. Bahkan tugas yang dibuat justru tidak dipahami isinya oleh mahasiswa yang membuat.

Ini juga menjadi  sorotan Izki Fikriani Amir, dosen Ilmu Komunikasi UMI sekaligus seorang pegiat literasi, menambahkan, "AI adalah pisau bermata dua. Ia membantu, tapi juga bisa mematikan daya kritis." Di kelas, Ia mengaku sering menemukan mahasiswa yang mengutip ChatGPT layaknya kitab suci, tanpa mengecek fakta.

Menjemput Kebangkitan Literasi

Acara one day workshop ini bukan sekadar teori. Peserta diajak praktik langsung dengan materi; bagaimana identifikasi hoaks dengan tools seperti turnbackhoax, InVID dan FactCheck.org, Simulasi pengamanan akun (two-factor authentication, deteksi phishing), serta curhat digital dan diskusi etika penggunaan AI dalam penelitian.

Harapannya jelas, literasi digital harus meliputi 3C (Critical Thinking, Creativity, Civic Responsibility). Seperti disampaikan Dr. Zelfia, M.Si, "Kami ingin Prodi Ilmu Komunikasi jadi garda terdepan kebangkitan literasi di kampus."

Di Harkitnas ini, semangat yang perlu dibangkitkan bukan sekadar nasionalisme, tapi juga kesadaran kolektif akan literasi. Data Kemendikbud (2024) mencatat, indeks literasi Indonesia masih stagnan di angka 62,3 (skala 100), jauh di bawah Malaysia (72,1) atau Singapura (78,9).

Perubahan bisa dimulai dari kampus, dengan cara ; mengintegrasikan kurikulum literasi digital di semua lembaga pendidikan tinggi, membentuk komunitas pegiat literasi—seperti yang dilakukan Prodi Ilmu Komunikasi UMI, kalau perlu membentuk satgas antihoaks kampus, kemudian kolaborasi dengan lembaga atau platform digital untuk kampanye #ThinkBeforeShare.

Penulis teringat pesan peserta boothcamp, Dilla, "Saya baru sadar, selama ini beberapakali share info hanya karena judulnya provokatif." Atau Jihan,”Saya nyaris terkucil di grup medsos keluarga karena kerap mengkritik anggota keluarga yang sering berbagi berita hoaks”. Zimran," Rasanya sulit membedakan mana berita valid mana yang hoaks, nyaris sama semua". Serta Fafa, ”Saya sempat tertipu akun seorang teman yang ternyata dihack”.

Itulah tantangan kita hari ini. Melawan arus informasi bukan dengan larangan, tapi dengan membekali Gen Z kemampuan menyaring, menganalisis dan bertanggung jawab. Kebangkitan literasi bukan pilihan tapi sebuah keharusan. Agar kita tidak menjadi generasi yang connected secara teknologi, tapi terputus dari kebenaran.

"Literasi adalah senjata paling ampuh melawan kepunahan nalar."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun