Siang itu, suasana ruang Teleconference Gdb FK UMI lantai 5 tampak berbeda. Ratusan mahasiswa (Gen Z) dan para dosen secara tertib antre di meja registrasi, bersemangat mengisi daftar hadir untuk acara Digital Literacy Boothcamp yang digelar Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Sastra, Ilmu Komunikasi dan Pendidikan (FSIKP) Unversitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, Rabu (21/5).
Dua momentum penting mewarnai acara ini: peringatan hari kebangkitan nasional (harkitnas), 20 Mei dan 27 tahun reformasi, 21 Mei. Tapi bagi mereka yang hadir di acara ini, merayakan kedua momen penting ini tidak harus dirayakan lewat aksi turun jalan, berorasi menggunakan speaker besar, gelar spanduk dan membakar ban bekas.
Di benak 200 orang peserta boothcamp hari itu, yang lebih penting adalah memanfaatkan kesempatan untuk mengasah kemampuan literasi digital—senjata utama melawan hoaks, misinformasi, dan penipuan di era AI bersama narasumber.
Sebagai seorang pemantik, Penulis melihat antusiasme ini sebagai secercah harapan ditengah sorotan soal minimnya kemampuan literasi Gen Z saat ini. Tapi di balik itu, ada keresahan yang menggelitik: mengapa Gen Z, yang disebut digital native, justru rentan terjebak dalam pusaran informasi palsu? Sebuah paradoks yang perlu segera dicari jalan keluarnya.
Data Digital 2023 oleh We Are Social dan Hootsuite menyebutkan, 99% Gen Z Indonesia (usia 18-26 tahun) mengakses internet setiap hari, dengan rata-rata 8,5 jam dihabiskan untuk media sosial. Namun, riset Nielsen Group (2024) mengungkap fakta ironis: hanya 32% yang mampu membedakan berita valid dan hoaks.
Di boothcamp itu, Dr. Zelfia,M.Si -- Ketua Prodi Ilmu Komunikasi FSIKP UMI, menyoroti hal serupa: "Generasi muda adalah kelompok paling aktif sekaligus paling rentan terpapar disinformasi." Hal Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan sebuah bentuk krisis berpikir kritis.
Contoh nyata? Kasus deepfake politikus yang viral pekan lalu. Banyak mahasiswa—yang notabene melek teknologi—langsung membagikan tanpa verifikasi. Padahal, alat deteksi AI seperti Google Reverse Image Search bisa digunakan dalam hitungan detik.
Hoaks, Penipuan Digital dan "Lapar" Validasi
Salah satu pembicara dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Makassar -- Hamsar Hasfat dalam sesinya bercerita tentang modus phishing terbaru: tautan undian palsu mengatasnamakan e-commerce ternama. "Korban terbanyak justru anak muda," ujarnya.
Modus pelaku makin canggih. Berdasarkan Data Kaspersky Lab (2023) ditemukan fakta bahwa 65% korban scam online di Indonesia berusia 18-30 tahun. Akar masalahnya cukup kompleks.
Pertama; Kebutuhan akan validasi instan. Dalam hal ini, Gen Z terbiasa dengan instant gratification—like, share, dan comment dianggap sebagai bentuk partisipasi, tanpa peduli akurasi konten.