Membongkar Realita Sosial dan Teknologi Lewat Podcast Ferry Irwandi x Deddy Corbuzier
Di era sekarang, informasi tersebar begitu cepat, tapi sayangnya, nggak semua orang bisa atau berani bicara tentang isu-isu besar yang menyangkut sistem, kebebasan, bahkan arah bangsa. Tapi baru-baru ini, saya nonton sebuah podcast yang menurut gue cukup "nendang" secara konten dan cara penyampaiannya yaitu saat Ferry Irwandi ngobrol bareng Deddy Corbuzier di kanal YouTube Close The Door.
Ferry Irwandi dikenal sebagai seorang mentalist, public speaker, entrepreneur, dan juga aktivis teknologi. Yang menarik dari Ferry adalah cara dia menyampaikan ide-ide kritis tentang masyarakat, politik, dan ekonomi semuanya dibungkus lewat pendekatan psikologi, sulap, dan teknologi. Dia bukan tokoh politik atau akademisi, tapi justru dari sudut pandang independennya, dia bisa ngebawa sudut pandang yang fresh dan non-biasa.
Nah, kalau Deddy Corbuzier udah nggak perlu dijelasin panjang, ya. Dia adalah mantan pesulap profesional yang sekarang dikenal sebagai salah satu podcaster terbesar di Indonesia. Kanal YouTube-nya, Close The Door, jadi tempat diskusi serius tapi santai yang sering mengangkat isu-isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Deddy punya gaya bertanya yang lugas dan tajam, dan dia sering ngajak tamu dari berbagai latar belakang buat membuka wawasan publik.
Isi Obrolan Mereka: Menyentuh Hal yang Sering Kita Rasa, Tapi Jarang Dibahas
1. Kebebasan Bicara di Era Digital
Di awal podcast, Ferry langsung menyorot kondisi saat ini di mana orang makin takut untuk bicara jujur. Banyak orang merasa dikekang oleh opini mayoritas, tekanan sosial, atau bahkan ancaman hukum. Ferry bilang, kripto dan teknologi digital bisa memberi ruang kebebasan baru karena sifatnya yang terdesentralisasi dan tidak dikontrol oleh satu pihak tertentu.
Sebagai mahasiswa, hal ini bikin saya mikir apakah dunia digital benar-benar bisa jadi ruang bebas, atau justru jadi bentuk baru dari kontrol?
2. Data Pribadi dan Kedaulatan Teknologi
Salah satu poin yang cukup menggelitik adalah soal bagaimana data kita sebagai warga negara Indonesia dikelola oleh perusahaan asing. Ferry nyebut tentang e-commerce besar yang dimiliki pihak luar, dan bagaimana data pengguna Indonesia jadi "komoditas." Di sini dia angkat isu soal pentingnya kedaulatan digital, dan mengajak kita untuk sadar kalau data bukan cuma soal privasi, tapi juga kekuatan ekonomi dan politik.
3. Mentalisme sebagai Cermin Politik
Karena latar belakangnya sebagai mentalist, Ferry ngasih analogi menarik soal dunia politik dan sistem pemerintahan sekarang yang katanya "penuh trik." Dia bilang, sama kayak sulap yang ditunjukkan ke mata publik bukanlah yang sebenarnya terjadi. Kita sering dibuat fokus ke satu isu, padahal masalah sebenarnya ada di tempat lain.
Menurut saya ini relate banget. Kita sering dihadapkan pada isu-isu kecil yang dibesar-besarkan, sementara problem struktural kayak pendidikan, kesehatan, dan ketimpangan ekonomi nggak dibahas tuntas.
4. Sepak Bola: Olahraga atau Alat Politik?
Hal yang nggak saya duga muncul dalam obrolan ini adalah soal sepak bola. Ferry mengungkapkan bahwa sepak bola di Indonesia sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi elit. Klub jadi kendaraan politik, suporter jadi alat massa, dan konflik antar fanbase sering dibiarkan demi kepentingan tertentu.
Sebagai anak muda yang suka bola, saya jadi merasa penting untuk punya perspektif baru tentang olahraga. Ini bukan cuma hiburan, tapi juga ladang kepentingan.
5. Sistem Lama vs Sistem BaruÂ
Dalam podcast, Ferry Irwandi banyak mengkritik sistem lama yang penuh birokrasi, kaku, dan sering tidak berpihak pada masyarakat kecil. Menurutnya, sistem seperti ini sudah waktunya ditinggalkan dan digantikan oleh sistem yang lebih transparan dan adil, seperti yang ditawarkan oleh teknologi blockchain dan kripto.
Pandangan ini sejalan dengan Timothy Ronald, seorang edukator keuangan digital yang juga vokal soal pentingnya kemandirian finansial. Timothy sering membahas bagaimana sistem keuangan tradisional sulit dijangkau oleh anak muda, dan bahwa Bitcoin bisa menjadi alternatif untuk membangun kebebasan finansial tanpa bergantung pada bank atau sistem lama.
Kalau Ferry bicara soal perubahan dari sisi sosial dan struktur kekuasaan, Timothy membawa pendekatan praktis lewat edukasi dan pemanfaatan teknologi. Keduanya sama-sama mendorong lahirnya sistem baru yang lebih adil dan inklusif.
6. Aktivisme Digital: Bersuara Lewat Teknologi
Salah satu bagian yang paling inspiring buat saya adalah saat Ferry bilang bahwa kita bisa "berjuang" lewat teknologi. Anak muda sekarang bisa bikin perubahan tanpa harus turun ke jalan. Cukup lewat edukasi digital, membuat sistem alternatif (kayak DAO, NFT, atau kripto sosial), dan menyebarkan literasi lewat platform yang kita punya.
Ini penting banget di era di mana banyak mahasiswa merasa bingung harus mulai dari mana. Jawabannya mulai dari apa yang kita bisa, dan mulai dari dunia digital yang sudah di depan mata.
Kesimpulan: Podcast yang Harusnya Didengar Banyak Mahasiswa
Podcast ini bukan cuma obrolan santai, tapi juga ruang refleksi buat kita semua terutama generasi muda. Ferry Irwandi dan Deddy Corbuzier berhasil menyampaikan isu-isu besar dengan bahasa yang sederhana tapi "nusuk." Saya pribadi merasa podcast ini bisa jadi bahan diskusi kampus, tugas esai, bahkan inspirasi untuk karya tulis ilmiah.
Di dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, penting banget buat kita tetap berpikir kritis. Dunia nggak akan berubah kalau kita diam. Dan mungkin, salah satu langkah awal perubahan bisa dimulai dari melek teknologi dan berani bersuara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI