Oleh: Muhammad Gibran Hi. Umar
Beberapa tahun terakhir, lini masa media sosial Indonesia dipenuhi oleh fenomena yang dikenal sebagai "hijrah digital". Selebriti, influencer, bahkan mantan narapidana tampil dengan citra baru yang lebih religius. Mereka mengenakan gamis, niqab, atau sorban, dan berbicara tentang syariat, tauhid, serta dosa-dosa masa lalu. Banyak yang menganggap ini sebagai kebangkitan kesadaran spiritual. Namun, tak sedikit pula yang sinis dan menyebutnya hanya sebagai tren sesaat bahkan bisnis yang menguntungkan.
Fenomena ini menarik karena terjadi di ruang yang kontradiktif: media sosial yang kapitalistik dan serba instan, tetapi dipakai untuk menyampaikan pesan yang idealnya bersifat abadi dan transenden. Di sinilah pertanyaan besar muncul: apakah hijrah digital adalah ekspresi spiritual yang otentik, atau hanya sekadar konten yang menjual?
Dari Masjid ke Instagram
Dalam sejarahnya, istilah hijrah merujuk pada peristiwa migrasi Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah sebuah langkah besar yang mengubah arah dakwah Islam. Namun kini, hijrah dimaknai lebih luas sebagai perpindahan spiritual dari kehidupan yang dianggap lalai menuju kehidupan yang lebih taat.
Jika dahulu hijrah terjadi di ruang-ruang pengajian atau pesantren, kini ia bermigrasi ke platform digital. Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi mimbar-mimbar baru. Dari sinilah muncul istilah "ustaz seleb" atau "influencer syar'i", yang jumlah follower-nya bisa melebihi ulama yang telah puluhan tahun menimba ilmu di Timur Tengah.
Hijrah menjadi branding baru terutama bagi kalangan yang sebelumnya dikenal sebagai publik figur dunia hiburan. Testimoni hijrah diproduksi layaknya film dokumenter: ada momen titik balik, ada air mata penyesalan, dan tentu saja ada produk-produk halal, modest fashion, hingga aplikasi kajian Islam yang ikut ditawarkan.
Spiritualitas atau Komodifikasi?