Mohon tunggu...
Muhammad Ghufron
Muhammad Ghufron Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Pandemi, Urusan Sains dan Solidaritas Global Ditanda Tanya

7 Agustus 2020   08:58 Diperbarui: 7 Agustus 2020   09:04 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada medio Maret lalu, Yuval Noah Harari menyempatkan menulis esai panjang bertajuk " Dunia setelah Virus Corona". Tayang pertama kalinya dalam edisi bahasa Inggris "The World After Corona Viruses" di Financial Times. Esai futuristis menyuguhkan sebuah cara pandang Harari mencerna realitas mutakhir usai pandemi.

Sebagai seorang sejarawan merangkap filsuf yang hidup di abad modern dengan karya-karyanya melulu orientasi perkiraan masa depan manusia, ia begitu getol mencerna setiap isu narasi yang terjadi pada umat manusia saat ini dalam menghadapi pandemi Covid-19. 

Manifestasi praksis bidang keilmuannya atas pengamatan pada krisis itu dapat dilihat dari esai-esainya yang terbit belakangan.
Ia menulis beberapa esai panjang nan kritis. 20 Maret 2020, secara bersamaan dua esainya terbit di Financial Times dan Time. "Dalam Perang Melawan Virus Corona, Manusia Kehilangan Pemimpin" dan "Dunia Setelah Virus Corona" adalah dua esai tersebut. 

Keduanya tidak sedikit pun berpaling dari isu masa depan manusia. Argumentasi analitisnya begitu menggairahkan dan meyakinkan pencinta buku bertema Manusia.
Relevansi spesialis bidang penulis buku-buku Manusia memantik wawasan ke dalam kemungkinan berekspresi ihwal krisis. Ia ditemani beberapa penulis lainnya yang membahas hal serupa dalam perspektif analitis bidang yang berbeda.

 Di Wabah, Sains, dan Politik merupakan sekelumit esai translasi dari para ahli yang tertungkus lumus sesuai bidang keilmuan masing-masing.

Harari dalam buku tampak begitu dominan dengan tiga buah esainya. Ringkas narasi historis  wabah pun tercatat apik lengkap detail jumlah korban. Dirinya mulai menarasikan bermacam wabah jauh sebelum globalisasi tiba. 

Saat sebelum globalisasi, sekira abad ke-14, wabah mengerikan Maut Hitam ( Black-Death) mulai menerungku umat manusia.

Saat itu, kata Harari, belum ada transportasi lintas negara di suatu benua yang sama.  Tetapi wabah menyebar sebegitu cepatnya. Suasana pun tetiba mencekam. Sekitar 75 juta sampai 200 juta orang terbunuh. Atau seperempat lebih dari populasi Eurasia. Tidak ada sains modern sebagai instrumen pencegahan di abad 14.

Masyarakat terinfeksi di titimangsa pra-modern itu, memercayai Black Death sebagai wujud kemarahan dewa, iblis jahat atau udara buruk. Nirgagasan pada kecurigaan ihwal pertanda eksistensi virus dan bakteri. Mereka hanya percaya pada malaikat dan orang-orang pintar.

Lalu,  otoritas publik setempat mengumpulkan masyarakat untuk melakukan ritus sembari memohon agar wabah segera berakhir, sekurang-kurangnya bisa meminimalisir terjadinya penyebaran. Alih-alih berdoa pada Tuhan kepercayaan masing-masing, justru menggalakkan upaya perkumpulan masyakat semacam ini akan memicu merebaknya penularan, kata Harari.

Begitulah cara kerja kebanyakan masyarakat modern.  Kelumpuhan sains kembali meringkih ketika fanatisme beragama kembali menemukan momentumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun