Langit sore di Payakumbuh hari itu seperti sedang ikut berduka. Awan tipis menggantung, seakan menahan sinar matahari yang hendak terbenam. Di halaman SMA Negeri 1 Payakumbuh, ribuan kenangan seolah bermunculan satu per satu, seperti film yang diputar ulang di kepala Adit dan Rani.
Hari itu adalah hari perpisahan. Semua siswa kelas XII berkumpul dengan seragam putih abu-abu yang akan segera mereka tinggalkan. Spanduk besar bertuliskan "Selamat Jalan, Siswa Kelas XII Angkatan 2025" terbentang di panggung utama. Musik perpisahan mengalun lembut dari pengeras suara, sementara di antara keramaian, Adit dan Rani memilih duduk berdua di bawah pohon flamboyan yang berdiri anggun di tepi lapangan.
"Aku benci momen kayak gini, Dit," gumam Rani, suaranya pelan namun penuh emosi. "Kenapa waktu harus berjalan secepat ini?"
Adit menatapnya sambil tersenyum kecut. "Karena kita terlalu sibuk menikmati semuanya, Ran. Tahu-tahu sudah di ujung jalan."
Rani terdiam, lalu memandang ke arah gedung sekolah berwarna putih-biru itu. Ia ingat saat pertama kali masuk SMA, bagaimana ia gugup mengikuti MOS, sampai akhirnya bertemu Adit yang kebetulan duduk di bangku yang sama. Dari situlah persahabatan mereka dimulai---persahabatan yang tumbuh tanpa pernah mereka sadari.
"Masih ingat gak waktu aku nangis gara-gara nilai matematikaku jeblok? Kamu yang pertama kali datang bawain gorengan dan bilang, 'Nilai jelek bukan akhir dunia,'" kata Rani sambil tertawa kecil di sela isaknya.
Adit ikut terkekeh. "Iya, dan setelah itu kamu ngajakin aku les bareng. Padahal sebenarnya kamu yang lebih pintar."
Mereka berdua tenggelam dalam nostalgia. Tawa, tangis, pertengkaran kecil, semua kembali terlintas. Saat lomba 17 Agustus, mereka jadi panitia yang sibuk sampai lupa makan. Saat hujan deras mengguyur, mereka basah kuyup karena nekat main bola di lapangan. Hingga saat-saat menjelang ujian nasional, mereka saling menyemangati meski sama-sama stres.
Namun, kenangan itu kini hanya tinggal cerita, karena besok mereka sudah harus berjalan di jalan masing-masing.
"Kamu ke Bandung, kan, Dit?" tanya Rani, menahan suaranya agar tidak pecah.
Adit mengangguk. "Iya. Aku ambil Teknik Informatika di sana. Kamu sendiri di Padang, kan?"
"Hmm, iya. Orang tua pengen aku di sana biar dekat rumah. Tapi itu artinya kita akan jarang ketemu..."
Adit menghela napas panjang. "Ran, aku tahu ini berat. Tapi aku percaya, sejauh apa pun kita melangkah, persahabatan ini gak akan hilang. Selama kita mau menjaga, selama kita masih saling percaya, jarak gak akan pernah bisa memisahkan."
Ucapan itu membuat hati Rani bergetar. Ia tahu Adit benar, tapi bayangan hari-hari tanpa sahabat terbaiknya itu terasa menakutkan.