Masyarakat Indonesia sering mendebatkan apakah poligami itu baik atau tidak. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, percakapan tentang poligami harus bergantung pada pemahaman kita tentang agama, konteks sosial, dan aspek keadilan. Dari sudut pandang pendidikan agama, poligami harus dipahami secara menyeluruh, bukan hanya dari sudut pandang hukum syariat, tetapi juga dari sudut pandang bagaimana itu diterapkan dan berdampak pada keluarga dan masyarakat. Poligami bukan sekadar persoalan hukum formal, tetapi juga menyentuh aspek spiritual, sosial, dan kemanusiaan. Melalui artikel ini, saya ingin berbagi pemahaman tentang poligami dari kacamata seorang calon sarjana hukum yang juga berusaha memahami ajaran Islam secara mendalam.
Praktik poligami sirri atau poligami yang dilakukan secara diam-diam tanpa pencatatan resmi negara masih menjadi isu yang mengemuka dalam masyarakat Indonesia. Fenomena ini menimbulkan perdebatan, terutama ketika dikaji dari dua perspektif yang sering kali berseberangan: hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Di satu sisi, pelaku poligami sirri merasa bahwa pernikahan yang dilangsungkan secara agama sudah cukup sah secara syariat. Namun di sisi lain, hukum negara menuntut adanya pencatatan resmi sebagai syarat sah perkawinan dalam sistem hukum nasional.
Berdasarkan Al-Quran dan Hadis, poligami dalam Islam memiliki landasan hukum yang jelas. Ayat yang paling sering disebutkan adalah surah An-Nisa ayat 3, yang memberikan izin bagi laki-laki untuk menikahi lebih dari satu wanita dengan beberapa syarat. Namun, izin ini merupakan rukhsah, atau keringanan, dalam kondisi tertentu, bukan perintah atau anjuran. Syarat utama yang ditekankan dalam syariat adalah kemampuan untuk berlaku adil, baik secara materi maupun non-materi. Keadilan ini mencakup pembagian waktu, kasih sayang, nafkah, dan perlakuan yang setara kepada semua istri. Al-Quran sendiri menegaskan bahwa jika seseorang tidak mampu berlaku adil, maka cukup satu istri saja
Berbeda dengan pendekatan syariat, hukum positif Indonesia mengatur bahwa perkawinan hanya diakui secara sah apabila dicatatkan oleh negara. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Poligami memang diperbolehkan dalam hukum Indonesia, namun dengan syarat dan prosedur ketat, seperti memperoleh izin dari Pengadilan Agama dan persetujuan dari istri pertama, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 sampai 5 UU Perkawinan serta dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan demikian, poligami sirri yang tidak melalui proses legal tersebut tidak hanya tidak diakui oleh hukum negara, tetapi juga membawa dampak hukum yang merugikan, terutama bagi istri kedua dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.Â
Salah satu dampak nyata dari poligami sirri adalah tidak diakuinya status hukum istri dan anak. Istri kedua tidak memiliki perlindungan hukum terkait hak nafkah, warisan, maupun kedudukan hukum sebagai istri sah. Anak-anak dari pernikahan sirri pun tidak secara otomatis memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Meskipun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah memperluas pengakuan anak di luar perkawinan, tetap saja anak hasil poligami sirri akan menghadapi hambatan administratif dan sosial karena tidak ada bukti pencatatan pernikahan orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa poligami sirri selain merugikan dari aspek hukum negara, juga tidak sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan dalam hukum Islam itu sendiri.Â
Jika pelaksanaan syariat secara pribadi tidak sesuai dengan persyaratan hukum nasional, sudah sepatutnya ada cara untuk menyatukan keduanya. Â Pencatatan nikah seharusnya dilihat sebagai upaya untuk melindungi hukum daripada sekadar melakukan formalitas. Â Agar kesadaran hukum dan agama tidak berjalan secara parsial, edukasi masyarakat sangat penting. Â Untuk mencegah poligami secara sembunyi-sembunyi, negara juga harus tegas dalam mengatur pencatatan perkawinan. Â Dari perspektif keagamaan, ulama dan tokoh agama juga diharapkan lebih proaktif dalam menyebarkan kesadaran bahwa pernikahan sirri yang menyebabkan kerusakan tidak sejalan dengan maqashid syari'ah.Â
Oleh karena itu, poligami sirri adalah contoh sempurna tentang bagaimana hukum Islam dan hukum positif dapat bertentangan satu sama lain jika keduanya tidak dipahami secara kontekstual. Â Untuk memastikan keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan hukum yang menyeluruh bagi semua warga negara, khususnya perempuan dan anak, diperlukan integrasi antara nilai-nilai syariah dan aturan negara dalam negara hukum yang mengakui keberagaman hukum, termasuk hukum Islam. Â Poligami bukan hanya ritual atau ibadah, tetapi juga hak asasi dan tanggung jawab yang terkait dengan hukum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI