Mohon tunggu...
muhammad eriek
muhammad eriek Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Prodi Jurnalistik

Halo! Nama saya Muhamad Erick, mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta yang sedang memulai karier sebagai content creator. Saya percaya bahwa setiap cerita layak untuk didengar. Dengan semangat eksplorasi dan pengalaman aktif di organisasi, saya berkomitmen untuk menyuarakan hak-hak dan isu sosial melalui karya-karya saya. Mari terhubung dan berkolaborasi!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kisah Affan dan Halte yang Terbakar: Harga Mahal Kegagalan Negara dalam Mendengar

4 Oktober 2025   00:21 Diperbarui: 4 Oktober 2025   00:21 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penerbit Deepublish

Jalanan Jakarta selalu berisik. Bagi Affan Kurniawan, suara bising mesin, klakson, dan teriakkan pedagang kaki lima adalah nada kerjanya. Pukul empat sore, keringatnya sudah membasahi jaket hijau ojolnya. Ia bukan bagian dari elite yang dibicara orang di berita, bukan pula aktivis yang berteriak di depan pagar kawat berduri. Affan hanya seorang pemuda yang harus memastikan aplikasi di ponselnya berbunyi, demi selembar dua lembar rupiah untuk ibunya di rumah kontrakan.

Sore itu, udara dipenuhi ketegangan. Demo besar di depan gedung perwakilan rakyat telah memblokir jalur utama. Affan mengambil jalan pintas melalui Senen. Ia harus mengambil penumpang di Matraman, dan rute ini terasa lebih aman---setidaknya begitulah pikirnya. Namun, di tengah kemacetan yang mencekik, ia mendengar jeritan. Bukan jeritan tuntutan, tapi jeritan kemarahan yang sudah kehilangan artikulasinya.

Di depannya, demonstrasi telah beralih menjadi kerusuhan. Asap tebal mengepul dari gedung perwakilan yang mulai dijilat api. Di simpang jalan, sekelompok massa dengan mata memerah melampiaskan amarah pada simbol-simbol terdekat. Dan simbol itu adalah halte TransJakarta yang baru dicat. Kaca dipecahkan, bangku dirobohkan. Aneh, pikir Affan, mereka marah pada negara, tapi yang dihancurkan adalah milik mereka sendiri, milik kita semua. Ini adalah bahasa yang putus, di mana kekecewaan sudah terlalu tebal hingga tak lagi bisa membedakan musuh dan fasilitas bersama.

Affan panik. Ia memutar motornya, mencoba menjauhi zona anarki. Tiba-tiba, dari arah belakang, suara sirene meraung membelah kemacetan, diikuti deru mesin yang besar. Kendaraan taktis lapis baja milik aparat, Barracuda, melaju cepat, mencoba memecah massa yang mulai membakar ban. Dalam kekacauan yang tak terkendali itu, tak ada yang melihat Affan. Ia hanya seorang penunggang motor yang salah tempat dan salah waktu.

Saat Barracuda itu bermanuver, sebuah benturan keras terjadi. Jeritan hilang ditelan suara mesin dan ledakan kecil. Affan Kurniawan meregang nyawa di aspal yang panas, terlindas bukan oleh perusuh, bukan oleh elite, melainkan oleh alat negara yang seharusnya menjaga ketertiban. Dalam pusaran konflik komunikasi yang gagal, Affan, yang hanya mencari nafkah, menjadi korban yang paling lemah dan paling mudah dilupakan.

Di sisi lain, narasi tentang kerusuhan segera dipolitisasi. Media sosial riuh dengan berita tentang kemarahan rakyat. Sementara itu, rekaman tentang seorang anggota dewan yang seolah 'joged di atas penderitaan rakyat' atau ungkapan yang dinilai 'tolol sedunia' beredar luas, menambah luka dan membakar kembali amarah publik. Gestur-gestur itu adalah bensin bagi api kerusuhan; mereka menegaskan betapa elite hidup dalam dimensi yang terpisah, memperjelas jurang komunikasi yang tak lagi bisa dijembatani.

Kisah Affan dan halte yang terbakar adalah sebuah epilog pahit. Halte yang hancur adalah monumen bagi kegagalan negara untuk mendengarkan, simbol alienasi di mana rakyat merasa fasilitas umum adalah milik kekuasaan yang harus dihancurkan. Sementara kematian Affan adalah stempel tragis bahwa dalam konflik politik yang buntu, harga mahal selalu dibayar oleh mereka yang paling tidak berdaya. Selama elite menolak untuk mengganti bahasa arogansi dengan komunikasi pengakuan yang tulus, selama itu pula demonstrasi akan terus bermutasi menjadi anarki, dan akan selalu ada Affan-Affan lain yang terseret dalam pusaran konflik yang bukan miliknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun