Mohon tunggu...
muhammad dien adrian
muhammad dien adrian Mohon Tunggu... mahasiswa

Public Speaking

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Agus Salim: Ketika Humor Menjadi Senjata Perjuangan

22 September 2025   22:48 Diperbarui: 22 September 2025   22:48 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nama Haji Agus Salim selalu lekat dengan citra kecerdasan, kesederhanaan, sekaligus kelucuan yang menohok. Lahir pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Sumatra Barat, ia tumbuh dalam keluarga Minangkabau yang sangat menghargai pendidikan. Sejak kecil, Salim sudah menunjukkan ketekunan belajar dan rasa ingin tahu yang besar. Setelah menamatkan Europeesche Lagere School (ELS), ia melanjutkan ke sekolah bergengsi Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Dari sanalah kepintarannya menonjol: ia menguasai banyak bahasa asing seperti Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, hingga Jepang.

Selepas sekolah, ia sempat bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah. Pengalaman ini memperluas wawasannya, terutama tentang dunia Islam dan pergaulan internasional. Sepulangnya ke tanah air, ia tidak memilih jalur karier nyaman ala pegawai kolonial. Sebaliknya, ia terjun ke kancah pergerakan lewat Sarekat Islam.

Dalam politik, Agus Salim dikenal sebagai sosok yang mampu menjembatani golongan nasionalis dan Islamis. Keahliannya berbicara membuatnya dihormati kawan maupun lawan. Pada masa sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), ia duduk dalam Panitia 9 bersama tokoh-tokoh besar lain untuk merumuskan Piagam Jakarta---dokumen penting yang menjadi landasan lahirnya Pancasila.

Setelah proklamasi, Agus Salim mendapat amanah sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Di masa genting revolusi, ia berkeliling dunia melakukan diplomasi. Dengan kecerdasan dan humornya, ia berhasil menarik simpati banyak pihak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Bung Karno sendiri menjulukinya The Grand Old Man, sebuah penghormatan atas kebijaksanaan dan wibawanya.

Meski pernah menduduki jabatan penting, gaya hidup Agus Salim jauh dari mewah. Rumahnya sederhana, penampilannya apa adanya. Ada sebuah kisah ketika ia ditanya mengapa tidak memakai mobil dinas menterinya. Dengan enteng ia menjawab, "Saya masih punya dua kaki, mengapa harus selalu duduk di kursi empuk mobil?" Jawaban sederhana namun sarat makna: jabatan baginya bukan alasan untuk berjarak dengan rakyat.

Anekdot dan kecerdikan Salim juga tak lekang waktu. Suatu ketika seorang Belanda meremehkan perjuangan bangsa Indonesia. Dengan santai ia balik bertanya, "Jika anjing menggonggong kepada Anda, apakah Anda akan menggonggong juga?" Kalimat singkat yang sukses membungkam lawan bicaranya---contoh bagaimana ia menggunakan kecerdasan verbal untuk melawan dengan elegan.

Agus Salim wafat pada 4 November 1954 di Jakarta. Ia meninggalkan jejak bukan hanya sebagai tokoh politik, tetapi juga teladan moral. Dari hidupnya kita belajar bahwa kecerdasan harus disertai kerendahan hati, humor bisa menjadi senjata, dan perjuangan sejati lahir dari pengabdian tanpa pamrih.

Kini, setiap kali bangsa ini berbicara tentang diplomasi, integritas, dan kebijaksanaan, nama Agus Salim selalu layak disebut di barisan terdepan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun