Mohon tunggu...
Muhammad Davi
Muhammad Davi Mohon Tunggu... Mahasiswa

seorang mahasiswa yang ingin menjadi lebih baik setiap harinya dengan menambah segala aspek pada dirinya sehingga dapat menjadi orang yang bermanfaat dimanapun keberadaannya

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ketika Pancasila Harus Biacara di Tengah Hiruk-Pikuk Uang dan Geopolitik

1 Juli 2025   22:38 Diperbarui: 1 Juli 2025   22:38 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Saya masih ingat saat pertama kali duduk di kelas Mata Kuliah Kewarganegaraan. Dosen saya membuka perkuliahan dengan kalimat yang tidak biasa: "Kalian bisa punya banyak uang, bahkan paspor ganda, tapi tetap tidak tahu siapa kalian sebenarnya." Saat itu saya mengernyit. Bukankah kewarganegaraan cukup dibuktikan dengan KTP atau keikutsertaan dalam pemilu? Ternyata tidak semudah itu.

Hari ini, ketika saya membaca berita tentang negara-negara yang menjual kewarganegaraan kepada investor asing, dan para pengusaha yang memegang lebih dari satu paspor demi kemudahan bisnis, saya baru paham: kewarganegaraan kini adalah arena politik global. Ini bukan hanya soal dokumen, tapi soal nilai. Dan di sinilah saya merasa: Pancasila kembali dipanggil.

Mata kuliah Kewarganegaraan semestinya tidak berhenti pada hafalan sila atau sejarah konstitusi. Ia harus menjadi ruang diskusi yang kritis dan kontekstual. Bagaimana kita memaknai Persatuan Indonesia ketika banyak warga kaya lebih memilih tinggal di luar negeri dan memindahkan kekayaan mereka dalam bentuk uang fiat? Bagaimana Keadilan Sosial ditegakkan jika akses terhadap kewarganegaraan bisa dibeli, sementara rakyat kecil justru dipersulit dalam administrasi dasar seperti pencatatan sipil?

Di era uang fiat, di mana nilai uang tidak lagi ditopang emas, melainkan hanya oleh kepercayaan dan kebijakan negara, muncul kesenjangan baru yang tak kasatmata. Mereka yang mampu mencetak atau mengakses uang lebih dulu, berhak atas fasilitas, proteksi, bahkan identitas nasional lebih dari satu. Yang lemah hanya jadi penonton. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, tetapi ketimpangan kewarganegaraan. Apakah kita rela melihat status warga menjadi privilese yang bisa diperdagangkan?

Geopolitik menambah lapisan rumit. Negara-negara adidaya tidak hanya bersaing di bidang militer atau teknologi, tetapi juga dalam pengaruh ideologis. Di tengah ketegangan Amerika dan Tiongkok, Rusia dan Barat, Indonesia dituntut bersikap, namun dengan tetap menjaga kemandirian. Di sinilah peran Pancasila sebagai penyeimbang makin krusial. Kita tidak boleh larut dalam tarikan blok manapun. Pancasila adalah filter kita. Ia yang membedakan kita dari hanya sekadar menjadi bagian dari "pasar warga dunia".

Dari ruang kuliah, saya belajar bahwa kewarganegaraan bukan produk birokrasi, tetapi bentuk komitmen. Pancasila bukan daftar hafalan, melainkan fondasi berpikir, bertindak, dan bersikap. Dan saat dunia menawarkan ilusi kenyamanan lewat paspor mahal, sistem mata uang tak berbasis riil, dan geopolitik yang memaksa, maka Pancasila-lah yang harus bicara. Ia menuntun kita untuk tidak sekadar menjadi warga sebuah negara, tetapi warga dari nilai yang dijaga.

Jika kampus bisa menjadi tempat menyulut kesadaran itu, maka mata kuliah Kewarganegaraan bukan sekadar formalitas. Ia bisa menjadi ruang paling subversive, yang melawan narasi dominan, mempertanyakan sistem, dan mengingatkan: kita warga negara, bukan warga pasar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun