Alam tak pernah pelit. Setiap hari ia memberi udara segar, air bersih, tanah subur, hasil hutan, hasil laut, dan energi dari matahari maupun angin. Semua itu tersedia tanpa kita harus membayar langsung.Â
Alam seolah menjadi ibu yang tak pernah lelah memberi makan anak-anaknya, bahkan ketika sebagian dari mereka terus-menerus melukai dan merusaknya.
Namun kemurahan hati ini sering kali disalahartikan sebagai kelemahan. Alih-alih dijaga dan dihargai, kekayaan alam justru dieksploitasi secara rakus dan serampangan.Â
Manusia menggali lebih dalam, menebang lebih banyak, dan membuang lebih sembarangan, seolah semua ini tidak akan pernah habis.Â
Padahal, kebaikan yang terus-menerus dimanfaatkan tanpa batas, pada akhirnya akan berubah menjadi peringatan yang datang lewat bencana.
Serakah adalah Luka yang Kita Tanam Sendiri
Manusia terlalu sering lupa bahwa alam punya batas kemampuan untuk pulih. Alam memang punya mekanisme penyembuhan hutan yang terbakar bisa tumbuh kembali, tanah yang rusak bisa pulih dengan waktu, sungai yang tercemar bisa jernih kembali.Â
Tapi semua itu membutuhkan waktu, ketenangan, dan campur tangan yang tidak merusak. Sayangnya, manusia jarang memberi kesempatan itu. Kita menambang tanpa henti, membangun tanpa jeda, menebang tanpa rencana, dan mencemari tanpa rasa bersalah.
Setiap tahun, jutaan hektar hutan tropis ditebang untuk membuka lahan sawit, pertambangan, dan proyek infrastruktur. Lautan dipenuhi sampah plastik dan bahan kimia yang meracuni kehidupan di dalamnya.Â
Gunung dikeruk hingga kehilangan bentuk aslinya, tanah pertanian kehilangan unsur hara karena terus dijejali pupuk kimia. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi saluran limbah.