Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Slow Living Membutuhkan Kota yang Tepat?

20 Desember 2024   10:36 Diperbarui: 20 Desember 2024   10:36 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi slow living (Freepik via narasi.tv/read)


Slow living adalah sebuah gaya hidup yang menekankan pada kehadiran penuh dalam setiap momen, menikmati kesederhanaan, dan menghargai kualitas dibandingkan kuantitas. 

Gaya hidup ini mengajak kita untuk melambat di tengah dunia yang serba cepat, meninggalkan kebiasaan hidup yang berfokus pada hasil dan menggantinya dengan apresiasi terhadap proses. Slow living bukan sekadar tentang memperlambat aktivitas, tetapi juga tentang menciptakan ruang untuk refleksi, koneksi dengan diri sendiri, dan hubungan yang lebih dalam dengan lingkungan sekitar.

Dalam slow living, kebahagiaan tidak diukur dari seberapa banyak yang dicapai dalam waktu singkat, melainkan dari kepuasan yang diperoleh dari hal-hal sederhana, menikmati secangkir teh hangat di pagi hari, berjalan kaki tanpa tergesa-gesa, atau mendengarkan suara alam tanpa gangguan. Filosofi ini mengingatkan kita untuk menghargai waktu sebagai aset yang berharga, bukan sekadar sumber daya yang harus dimanfaatkan dengan efisiensi maksimal.

Namun, untuk benar-benar menjalani slow living, lingkungan tempat tinggal memegang peran yang sangat penting. Kota atau tempat tinggal yang mendukung gaya hidup ini harus mampu memberikan suasana yang mendukung kedamaian, koneksi sosial yang sehat, serta akses ke kebutuhan dasar tanpa tekanan hidup yang berlebihan. Tanpa dukungan lingkungan yang tepat, slow living hanya akan menjadi sebuah konsep yang sulit diwujudkan.

Kota yang tepat untuk slow living biasanya menawarkan keseimbangan antara kenyamanan modern dan ketenangan alam. Faktor pertama, kota tersebut harus memiliki fasilitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti layanan kesehatan, transportasi, pendidikan, dan konektivitas. Namun di sisi lain, kota ini juga harus menyediakan ruang-ruang yang mendukung ketenangan, seperti taman hijau, jalur pejalan kaki, dan kawasan yang jauh dari hiruk-pikuk lalu lintas.

Keberadaan elemen alami di dalam atau sekitar kota menjadi salah satu kunci penting. Pemandangan alam seperti pegunungan, danau, atau pantai tidak hanya menjadi tempat pelarian dari rutinitas tetapi juga memberikan efek menenangkan yang mendalam bagi jiwa. Suara burung, angin yang berdesir, atau gemericik air adalah detail kecil yang sering kali terlupakan dalam kehidupan kota besar, namun memiliki peran besar dalam menciptakan suasana hidup yang damai.

Kota yang mendukung slow living biasanya memiliki budaya lokal yang erat kaitannya dengan hidup selaras dengan waktu. Penduduknya cenderung memiliki gaya hidup yang lebih santai, dengan fokus pada komunitas dan koneksi antarindividu. Pasar tradisional, kafe kecil, dan acara komunitas sering menjadi ciri khas yang mempermudah seseorang untuk merasa lebih terhubung dan menikmati setiap momen dengan sederhana.

Faktor kedua adalah infrastruktur kota. Sebuah kota yang mendukung slow living harus memiliki akses mudah ke fasilitas penting seperti transportasi umum, pasar lokal, dan layanan kesehatan. Infrastruktur yang efisien membantu mengurangi stres dan waktu yang terbuang, sehingga penduduk dapat lebih fokus menikmati momen-momen sederhana dalam kehidupan sehari-hari.

Transportasi umum yang ramah lingkungan, seperti bus listrik, kereta api, atau jalur sepeda, menjadi komponen utama dalam menciptakan gaya hidup yang lebih santai dan berkelanjutan. Dengan adanya pilihan transportasi yang mudah dijangkau, penduduk tidak perlu bergantung pada kendaraan pribadi, sehingga mereka dapat mengurangi tekanan dari kemacetan dan biaya yang tidak perlu.

Pasar lokal juga menjadi bagian penting dari infrastruktur kota untuk slow living. Kehadiran pasar tradisional yang menjual bahan makanan segar dan produk lokal mendorong gaya hidup yang lebih sehat dan sederhana. Berbelanja di pasar lokal juga memungkinkan interaksi sosial yang lebih bermakna dengan komunitas sekitar, yang sejalan dengan filosofi slow living.

Selain itu, akses ke layanan kesehatan yang memadai memberikan rasa aman dan nyaman bagi penduduk. Kota yang menyediakan klinik, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lain dengan mudah dijangkau memungkinkan penduduk untuk merasa terjamin tanpa harus menghadapi kekhawatiran yang berlebihan.

Budaya masyarakat di kota tersebut juga menjadi pertimbangan. Kota yang mendukung slow living biasanya dihuni oleh komunitas yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang selaras dengan prinsip kesederhanaan, kebersamaan, dan menghargai waktu. Dalam lingkungan seperti ini, tekanan untuk terus berkompetisi atau mengejar kesuksesan secara berlebihan cenderung lebih rendah, digantikan dengan fokus pada keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan waktu pribadi.

Masyarakat dengan budaya yang menghargai hidup selaras dengan alam dan waktu cenderung menciptakan atmosfer yang lebih damai. Mereka lebih mungkin untuk melibatkan diri dalam aktivitas seperti gotong royong, mendukung usaha lokal, dan menjaga lingkungan sekitar. Interaksi sosial yang hangat dan penuh keakraban, seperti berbincang santai di pasar atau menghabiskan waktu bersama tetangga, menjadi elemen penting dalam memperkuat hubungan antar manusia yang mendalam.

Ritme kehidupan di kota-kota seperti ini sering kali lebih lambat dibandingkan kota metropolitan yang serba cepat. Warga tidak terburu-buru dalam menjalani aktivitas sehari-hari, memberikan ruang bagi diri mereka untuk menikmati setiap momen. Misalnya, makan bersama keluarga tanpa tergesa-gesa, menghadiri acara budaya lokal, atau menikmati sore hari di taman kota adalah hal yang biasa dilakukan tanpa tekanan waktu.

Terakhir, biaya hidup menjadi aspek krusial. Slow living sering kali diidentikkan dengan hidup sederhana, sehingga kota dengan biaya hidup yang terjangkau memungkinkan seseorang untuk lebih fokus pada kualitas hidup daripada sekadar memenuhi kebutuhan finansial. Kota-kota dengan harga properti, makanan, dan transportasi yang masuk akal memberikan ruang bagi penduduknya untuk mengurangi tekanan ekonomi, sehingga mereka dapat meluangkan waktu untuk hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup.

Kota-kota kecil atau menengah sering kali menjadi pilihan ideal karena menawarkan keseimbangan antara akses ke kebutuhan dasar dan ritme hidup yang lebih santai. Di tempat seperti ini, penduduk tidak perlu terjebak dalam budaya konsumerisme yang memaksa mereka untuk terus bekerja keras demi mempertahankan gaya hidup mahal. Dengan pengeluaran yang lebih rendah, seseorang dapat memprioritaskan waktu untuk keluarga, hobi, atau bahkan sekadar beristirahat tanpa merasa bersalah.

Biaya hidup yang rendah sering kali juga terkait dengan budaya lokal yang lebih mendukung gaya hidup berkelanjutan. Penduduk kota dengan biaya hidup yang terjangkau cenderung lebih memanfaatkan pasar tradisional, mengonsumsi produk lokal, dan menggunakan transportasi umum. Kebiasaan-kebiasaan ini tidak hanya lebih hemat tetapi juga mendukung filosofi slow living yang menghargai keberlanjutan dan kesederhanaan.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Mencari kota yang tepat untuk slow living bukan hanya soal menemukan tempat yang indah, tetapi juga lingkungan yang memungkinkan seseorang untuk benar-benar hidup sesuai dengan prinsip slow living. Kota tersebut harus mendukung keseimbangan antara kenyamanan modern dan kesederhanaan, dengan infrastruktur yang memudahkan, budaya masyarakat yang selaras, serta biaya hidup yang terjangkau.

Setiap elemen dalam kota mulai dari akses ke ruang hijau, transportasi umum yang efisien, hingga suasana komunitas yang hangat berkontribusi pada terciptanya ritme hidup yang lebih lambat dan bermakna. Lingkungan seperti ini memberikan kebebasan bagi individu untuk menikmati hidup tanpa tekanan berlebihan, memungkinkan mereka untuk fokus pada hubungan sosial, kesehatan, dan kebahagiaan yang autentik.

Dengan memilih kota yang tepat, slow living dapat berubah dari sekadar konsep menjadi pengalaman hidup yang nyata. Tempat yang mendukung slow living menjadi ruang di mana seseorang dapat menghargai setiap momen, menjalani hidup dengan kesadaran penuh, dan menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun