Ilmu pengetahuan sejak awal peradaban manusia senantiasa mengalami perkembangan seiring perubahan cara pandang dan paradigma. Dalam filsafat ilmu, ilmu tidak dipahami hanya sebagai kumpulan pengetahuan, melainkan sebagai suatu sistem yang dibentuk oleh kerangka teori, metode, dan nilai yang berlaku pada suatu zaman tertentu. Thomas Kuhn menyebut perubahan besar dalam ilmu sebagai scientific revolution, yaitu pergeseran paradigma yang mengubah cara pandang manusia terhadap realitas (Kuhn, 1962).
Di era kontemporer, munculnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) memunculkan perdebatan baru dalam filsafat ilmu: bagaimana status pengetahuan yang dihasilkan mesin? Apakah AI sekadar alat, atau ia dapat menjadi subjek epistemik baru? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa filsafat ilmu tetap relevan untuk mengkaji dinamika perkembangan ilmu pengetahuan.
Tulisan ini bertujuan membahas perkembangan dan perubahan paradigma ilmu pengetahuan, terutama dalam konteks era kecerdasan buatan, sekaligus menganalisis tantangan epistemologi, ontologi, dan etika yang muncul. Selain itu, tulisan ini menghadirkan perspektif filsafat Islam agar kajian lebih komprehensif dan relevan dengan realitas kontemporer.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Paradigma
Perjalanan ilmu pengetahuan dapat dipetakan melalui beberapa paradigma besar. Pada masa Yunani Kuno, Aristoteles mengembangkan paradigma teleologis yang menekankan bahwa segala sesuatu memiliki tujuan. Pada masa modern, paradigma mekanistik Newton mendominasi, melihat alam sebagai mesin yang dapat dijelaskan dengan hukum kausalitas deterministik. Paradigma ini bertahan berabad-abad hingga abad ke-20 ketika teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum memunculkan paradigma baru yang menekankan relativitas, probabilitas, dan keterbatasan observasi.
Perubahan paradigma tidak hanya soal teori, melainkan juga menyangkut cara manusia memahami realitas. Kuhn menegaskan bahwa paradigma ilmiah menentukan apa yang dianggap sebagai masalah sahih, metode yang tepat, hingga jawaban yang dapat diterima. Ilmu pengetahuan tidak pernah netral, melainkan selalu dibentuk oleh kerangka nilai dan perspektif zaman (Kuhn, 1962).
Di era kontemporer, perkembangan teknologi digital dan AI menunjukkan tanda-tanda lahirnya paradigma baru. Ilmu tidak lagi sekadar domain manusia, melainkan diwarnai oleh sistem komputasi yang mampu belajar, memprediksi, bahkan menciptakan pengetahuan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kita sedang menyaksikan revolusi ilmiah baru yang setara dengan revolusi Copernicus atau Einstein?
Selain itu, pandemi COVID-19 menambah urgensi pemanfaatan AI dalam ilmu pengetahuan. Misalnya, algoritma AI digunakan untuk mempercepat penemuan vaksin dan pemodelan penyebaran virus. Dalam konteks ini, AI tidak hanya menjadi alat, tetapi juga sebagai mediator dalam proses ilmiah, memperluas kapasitas manusia dalam menghadapi tantangan global.
Perubahan Paradigma di Era Kecerdasan Buatan
AI telah mengubah hampir semua bidang kehidupan, dari kedokteran, ekonomi, transportasi, hingga pendidikan. Kemampuan machine learning dan deep learning memungkinkan sistem memproses data dalam skala masif dan menghasilkan prediksi dengan akurasi tinggi. Fenomena ini menantang posisi manusia sebagai satu-satunya agen epistemik.
Jika selama ini pengetahuan dipahami sebagai hasil interaksi manusia dengan realitas melalui metode ilmiah, kini AI mampu menghasilkan hipotesis dan pola tanpa intervensi langsung dari manusia. Misalnya, sistem AI dapat menemukan potensi obat baru dengan menganalisis jutaan data biologis lebih cepat dibandingkan para ilmuwan. Dalam kerangka Kuhn, hal ini menandakan pergeseran dari paradigma antroposentris menuju paradigma techno-sentris.