Jual beli termasuk salah satu sistem ekonomi Islam, dalam Islam ekonomi lebih
berorientasi kepada nilai-nilai logika, etika, dan persaudaraan, yang kehadirannya
secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi kepada Allah. Dengan demikian nilai-
nilai tersebut dapat difungsionalkan pada tingkah laku ekonomi manusi khususnya,
dan peradaban umat manusia umumnya. Implikasi dari nilai-nilai ekonomi ini, bahwa
antara manusia itu terjalin persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu
diantara pelaksanaannya. Tidak ada pertarungan kelas seperti yang dianut oleh sistem
marxisme dan kebebasan pasar seperti yang dianut oleh sistem ekonomi kapitalisme.
Dalam sistem ekonomi marxisme dan kapitalisme orientasinya lebih
mengutamakan dan mengejar keuntungan materi, sedangkan Islam lebih
mengutamakan dan mengejar keuntungan materi, sedangkan Islam lebih
mengutamakan pengabdian kepada Allah, tidak memutuskan hubungan kegiatan
ekonomi dengan ukhrawi. Setiap kegiatan ekonomi yang didasarkan atas kejujuran
dan keiklasan kepada Allah, dipandang sebagai amal saleh.
Secara umum dapat dikatakan segala bentuk jual beli bersifat halal, akan tetapi
tidak seluruh transaksi jual beli dapat dikategorikan kepada suatu konsep kehalalan,
karena dikembalikan kepada substansi dari benda itu sendiri atau cara bagaimana
transaksi itu dilaksanakan
Menurut Hamzah Ya’qub ada 3 (tiga) komponen yang dilarang oleh syara’ untuk
diperdagangkan, yaitu: (1) Barang atau zat yang terlarang diperjualbelikan. Misalnya
babi, minuman keras, berhala (patung yang disembah). Usaha atau objek dagang
yang terlarang, misalnya anjing, bangkai, darah dan alat-alat maksiat serta lain dan
sebagainya. (2) Usaha atau objek dagang yang dilarang, misalnya usaha pelacuran,
perjudian, pengangkatan barang-barang yang haram dan sebagainya. (3) Cara-cara
dagang atau jual beli yang dilarang, misalnya persaingan tidak sehat dengan sesama
muslim, banyak sumpah, penghadangan kafilah dagang, penimbunan barang dan lain
sebagainya.
Berdasarkan pendapat di atas, pada umumnya ada tiga karakteristik dari
transaksi jual beli yang dilarang oleh syara’, yaitu terkait dengan permasalahan
materi yang diharamkan oleh syara’, bentuk usahanya dan cara-cara dari
perdagangan itu sendiri. Ketiga komponen tersebut sangat berpengaruh besar dalam
menentukan status hukumnya.
Bahwa jual beli yang tidak di perbolehkan adalah jual beli yang zatnya haram
dan najis. Yang termasuk benda najis menurut Mazhab Syafi’i adalah sebagai
berikut: Darah yang memancar dan semua jenis darah terkecuali darah yang terdapat
pada ikan dan Segala sesuatu yang berasal dari perut binatang, darah, nanah,
muntahan, kotoran dan kencing.
Jika ditinjau dari segi Hukum, maka di antara Ulama ada yang memperbolehkan
jual beli darah, sebagaimana halnya jual beli najis yang ada manfaatnya, pendapat ini
dianut oleh mazhab Hanafi dan Zhairi.
Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan
hadis Nabi riwayat Al Bukhari dan muslim dari Jabir r.a kecuali barang najis yang
ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan maka secara analogis (qiyas),
mazhab ini membolehkan jual beli darah manusia, karena besar sekali manfaatnya
bagi manusia guna menolong jiwa sesama manusia yang memerlukan transfusi darah
karena operasi dan kecelakaan.
Bahwa Agama Islam membolehkan hal-hal yang makruh dan yang haram bila
berhadapan dengan hajat dan darurat. Dalam konteks jual beli darah untuk kebutuhan
transfusi sangat besar manfaatnya. Yaitu untuk menjaga dan menyelamatkan nyawa
seseorang.
Yang demikian itu sesuai pula dengan tujuan Syari’at Islam, yaitu bahwa
sesungguhnya Syari’at Islam itu baik dan dasarnya ialah hikmah dan kemaslahatan
bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahan yang terkandung dalam mempergunakan darah dalam transfusi
adalah untuk menjaga keselamatan jiwa seseorang yang merupakan hajat manusia
dalam keadaan darurat, karena tidak ada bahan lain yang dapat dipergunakan untuk
menyelamatkan jiwanya
Kondisi darurat bisa membolehkan hal-hal yang dilarang dan bisa menghapus
dosa dari perbuatan tersebut. Jadi transfusi darah sudah menjadi alternatif terakhir
dari pengobatan untuk menjaga dan menyelamatkan kehidupan manusia. Maka
dalam hal ini najis pun seperti darah, boleh dipergunakan untuk mempertahankan
hidup manusia.
Kedudukan kaedah tersebut menjelaskan bahwa Agama Islam membolehkan
hal-hal yang haram bila berhadapan dengan hajat manusia dan darurat. Dengan
demikian transfusi darah untuk menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena
hajaat dan keadaan darurat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI