Mohon tunggu...
Abbar
Abbar Mohon Tunggu... Pembelajar Sepanjang Hayat

Tertarik pada hal-hal yang membuat orang berhenti sejenak dan berpikir. Suka menulis, membaca, dan mengobrol tentang isu-isu yang sering luput dari perhatian. Lebih suka mempertanyakan daripada mengikuti. Hidup bukan tentang ikut tren, tapi mencari makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Ki Hajar Dewantara Sebagai Penjaga Jati Diri Bangsa dalam Arus Globalisasi

21 Juli 2025   12:21 Diperbarui: 21 Juli 2025   12:21 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Masa menjadi bahagian dari Kampus Mengajar 4 di SDN 133 Inpres Talawe

Pendidikan merupakan cahaya penuntun manusia dalam menjalani kehidupan. Ia tidak hanya menjadi alat untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga berfungsi sebagai pondasi pembentukan karakter, nilai, dan jati diri. Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan memiliki misi yang jauh lebih besar: menjaga nilai-nilai luhur bangsa, membangun peradaban yang berakar pada budaya, dan memastikan bahwa kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata tetap lestari dalam jiwa generasi penerus.

Namun, dinamika zaman menempatkan pendidikan kita pada persimpangan jalan. Perkembangan kehidupan manusia dari masa ke masa membawa perubahan yang tidak selalu selaras dengan semangat kebangsaan. Salah satu tantangan terbesar saat ini adalah globalisasi. Sebagai fenomena yang tak terbendung, globalisasi telah menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Sayangnya, dalam banyak kasus, globalisasi tidak hadir sebagai kekuatan yang membebaskan, melainkan sebagai arus deras yang bisa menggerus nilai-nilai kebangsaan.

Menurut Rachmad, globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar telah menggeser paradigma pendidikan. Dari yang semula merupakan instrumen pemerdekaan dan pencerahan, kini pendidikan mulai diperlakukan sebagai komoditas. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai hak warga negara, tetapi sebagai produk yang diperjualbelikan[1]. Akibatnya, tujuan pendidikan menjadi sempit: mencetak tenaga kerja untuk industri, bukan membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berbudaya, berakhlak, dan berjiwa merdeka.

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius. Jika pendidikan hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar, maka kita akan kehilangan arah. Generasi muda Indonesia bisa saja menjadi cerdas secara teknis, tetapi miskin secara kultural dan spiritual. Mereka mungkin fasih menggunakan teknologi, tetapi asing dengan nilai gotong royong. Mereka bisa menjadi ahli dalam algoritma, tetapi buta terhadap Pancasila. Maka, dalam situasi seperti inilah, pendidikan keindonesiaan sebagaimana digagas oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi sangat relevan.

Ki Hadjar Dewantara dan Pendidikan Berbasis Kebudayaan

Ki Hadjar Dewantara bukan sekadar seorang tokoh pendidikan; ia adalah simbol perlawanan intelektual terhadap kolonialisme dan penjajahan. Gagasannya tentang pendidikan bukan hanya bertujuan mencerdaskan individu, tetapi juga membangun bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat. Dalam pandangannya, pendidikan harus bertujuan menuntun segala kekuatan kodrat anak agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.[2]

Ki Hadjar melihat pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan. Ia percaya bahwa pendidikan harus bersumber dan bermuara pada nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Karena itu, ia menggagas Tri Pusat Pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga unsur ini menjadi lingkungan alami pembentukan karakter bangsa. Proses pendidikan dimulai sejak dini dengan konsep belajar Tri-N: nonton (melihat), niteni (memahami), dan nirokke (menirukan), yang merupakan pendekatan pembelajaran khas budaya Jawa namun sarat makna universal.[3]

Di sinilah kejeniusan Ki Hadjar terlihat: beliau mampu merumuskan sistem pendidikan yang tidak hanya relevan secara lokal tetapi juga memiliki nilai universal. Beliau tidak mengimpor konsep pendidikan dari Barat secara mentah, melainkan mengolahnya dalam semangat kebangsaan dan kearifan lokal. Dengan demikian, pendidikan menjadi alat perjuangan kebudayaan, bukan sekadar jalan menuju modernisasi.

Kodrat Alam, Kodrat Zaman, dan Jiwa Merdeka

Salah satu konsep sentral dalam pemikiran Ki Hadjar adalah sistem Among, yang berpijak pada dua prinsip besar: kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam merujuk pada potensi yang dimiliki setiap individu, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Seorang pendidik, menurut Ki Hadjar, harus mampu menuntun anak sesuai dengan kedua kodrat ini agar ia menjadi pribadi yang merdeka, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara batin. [4]

Konsep ini menunjukkan betapa Ki Hadjar memahami pentingnya pendidikan yang kontekstual dan adaptif. Ia tidak menolak perubahan zaman, tetapi juga tidak rela jika perubahan itu melunturkan jati diri bangsa. Maka, pendidikan harus menjadi benteng yang melindungi nilai-nilai kebudayaan dari gempuran zaman, sekaligus menjadi jembatan untuk membawa generasi muda menghadapi masa depan dengan identitas yang utuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun