Demokrasi Indonesia pasca-reformasi telah melalui berbagai eksperimen elektoral. Puncaknya adalah pelaksanaan Pemilu Serentak yang menggabungkan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres), anggota legislatif (Pileg), dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dalam siklus waktu yang berdekatan atau bahkan bersamaan (seperti Pemilu 2019 dan 2024). Tujuan awalnya adalah efisiensi anggaran dan penguatan sistem presidensial. Namun, realitas di lapangan menunjukkan kompleksitas yang luar biasa.
Pemilu serentak memunculkan apa yang disebut sebagai democracy fatigue (kelelahan demokrasi) baik di kalangan pemilih maupun, yang paling tragis, di kalangan penyelenggara pemilu. Beban kerja yang menumpuk, mulai dari logistik hingga rekapitulasi, menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa dan sakit parah di antara petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada tahun 2019. Secara substantif, Pemilu serentak juga cenderung mendominasi isu nasional, mengubur isu-isu lokal yang seharusnya menjadi fokus utama pemilihan legislatif dan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Berangkat dari evaluasi pahit tersebut, wacana pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal kembali menguat dan mendapat landasan konstitusional penting melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan ini membuka era baru. menawarkan harapan untuk menata ulang arsitektur demokrasi Indonesia menjadi lebih rasional, efisien, dan fokus.
Kritik terhadap Model Pemilu Serentak
Model Pemilu serentak 2019 dan 2024 terbukti membawa sejumlah tantangan signifikan yang merusak kualitas demokrasi:
1. Beban Kerja dan Korban Jiwa Penyelenggara
Masalah paling mendesak dari Pemilu Serentak adalah tingginya beban kerja bagi penyelenggara di tingkat bawah. Mereka harus mengelola lima jenis surat suara sekaligus. Hal ini, selain menyebabkan kelelahan ekstrem, juga berpotensi besar memicu kesalahan administratif dalam penghitungan suara, yang pada akhirnya dapat mengurangi integritas dan akuntabilitas hasil pemilu.
2. Efek Ekor Jas (Coattail Effect) yang Kuat
Keserentakan pemilihan memungkinkan dominasi isu Pilpres menutupi pertimbangan rasional pemilih dalam memilih anggota legislatif maupun kepala daerah. Pemilih cenderung mencoblos calon legislatif dari partai yang mengusung calon presiden favorit mereka (coattail effect). Akibatnya, pemilu lokal hanya menjadi 'anak tiri politik, gagal memicu debat substantif mengenai isu-isu pembangunan daerah, sehingga mengikis fungsi pengawasan DPRD terhadap eksekutif daerah.
3. Tumpang Tindih Isu dan Disorientasi Pemilih
Kompleksitas kertas suara dan banyaknya calon yang harus dipilih dalam satu waktu (lima kotak suara) menimbulkan disorientasi pemilih. Hal ini mempersulit pemilih untuk mengambil keputusan yang informatif dan rasional, terutama dalam konteks pemilihan DPRD yang memiliki implikasi langsung terhadap kebijakan lokal.