Mohon tunggu...
Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini Mohon Tunggu... Dosen

Membaca dan menulis adalah Dua sisi dari satu koin: membaca memperkaya wawasan, sementara menulis mengolah dan menyampaikan wawasan tersebut. Keduanya membangun dialog tak berujung antara pikiran dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ecoteologi dan Pancasila untuk Membangun Indonesia Raya yang Harmonis dengan Alam

2 Oktober 2025   04:45 Diperbarui: 2 Oktober 2025   04:40 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Twibborn Hari Kesaktian Pancasila

Pelestarian Alam dengan Tumbuhan yang bermanfaat 
Pelestarian Alam dengan Tumbuhan yang bermanfaat 
Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan budaya, kini berada di persimpangan jalan menghadapi tantangan degradasi lingkungan dan krisis iklim yang semakin mendesak. Dari deforestasi masif yang memicu banjir dan tanah longsor, hingga pencemaran laut oleh sampah plastik, kerusakan alam mengancam bukan hanya ekosistem, tetapi juga keberlangsungan hidup jutaan masyarakat dan bahkan persatuan bangsa. Dalam konteks ini, Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober, dengan tema resmi 2025 Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya, menawarkan perspektif baru. Momen ini bukan hanya mengenang ketahanan ideologi Pancasila dari ancaman G30S/PKI, tetapi juga harus menjadi simbol ketahanan Pancasila terhadap ancaman degradasi lingkungan. Di sinilah ecoteologi hadir untuk memperkaya Pancasila, menjadikannya fondasi moral dan etika bagi pembangunan berkelanjutan menuju "Indonesia Raya" yang harmonis dengan alam.

Sejarah Kesaktian Pancasila dan relevansinya dengan "Pertahanan" Alam

Hari Kesaktian Pancasila berakar dari peristiwa kelam Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), yang menguji ketahanan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Penetapannya melalui Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967 menjadi simbol kemenangan ideologi Pancasila atas ancaman ideologi lain yang ingin menggantikan. Kini, makna "kesaktian" Pancasila perlu diperluas. Jika dahulu Pancasila "sakti" melawan ancaman politik dan ideologi, kini ia harus "sakti" melawan ancaman yang tak kalah destruktif: kerusakan lingkungan. Seperti yang dinyatakan Mahkamah Agung, peringatan Hari Kesaktian Pancasila adalah "manifestasi dari pengakuan, penerimaan, dan penghormatan terhadap Pancasila sebagai dasar negara". Dalam konteks ecoteologi, Pancasila harus menjadi "pertahanan" moral dan spiritual bangsa dalam menjaga alam.

Teori ini selaras dengan gagasan Lynn White Jr. dalam esainya yang berpengaruh, "The Historical Roots of Our Ecologic Crisis" (1967), meskipun ia mengkritik peran agama Kristen Barat. Namun di konteks Indonesia, ecoteologi justru berupaya membangun kembali jembatan antara spiritualitas dan lingkungan. Ecoteologi mengajarkan bahwa krisis ekologi modern bukanlah semata krisis teknis atau ekonomi, melainkan krisis spiritual yang berakar pada pandangan antroposentris yang keliru terhadap alam. Oleh karena itu, relevansi Hari Kesaktian Pancasila kini bukan hanya menjaga Pancasila sebagai ideologi politik, melainkan juga mengaktualisasikannya sebagai etika ekologis yang membimbing bangsa untuk hidup harmonis dengan alam, sebuah "pertahanan" yang melindungi keberlangsungan hidup seluruh ciptaan.

Refleksi Sila-sila Pancasila dalam Ecoteologi Lintas Agama

Ecoteologi memperkaya makna setiap sila Pancasila dengan dimensi ekologis yang mendalam, menjadikannya panduan komprehensif bagi pembangunan berkelanjutan:

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: Sila pertama ini merupakan fondasi metafisik ecoteologi Pancasila. Konsep "Ketuhanan" menempatkan alam semesta dalam kerangka transenden sebagai ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Dengan demikian, alam bukanlah objek mati yang bebas dieksploitasi, melainkan entitas yang memiliki nilai intrinsik dan sakral karena statusnya sebagai ciptaan ilahi. Dari perspektif Islam, konsep tauhid (keesaan Tuhan) menegaskan kesatuan antara Sang Pencipta, alam, dan manusia, di mana manusia berperan sebagai khalifah atau mandataris di bumi (QS. Al-Baqarah:30). Tanggung jawab kekhalifahan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Seyyed Hossein Nasr, menuntut manusia untuk menjadi penjaga dan pelayan alam, bukan perusak, dan kegagalan dalam tugas ini merupakan "krisis spiritual" yang mendalam. Dalam tradisi Kristen, ajaran tentang manusia sebagai gambar Allah (Imago Dei) membawa amanat untuk memelihara dan mengelola ciptaan-Nya (Kejadian 2:15), sementara dalam Buddhisme, prinsip ahimsa (tanpa kekerasan) meluas pada semua makhluk hidup dan ekosistem. Oleh karena itu, perusakan lingkungan bukan hanya merugikan sesama manusia atau makhluk hidup, melainkan juga pelanggaran terhadap perintah ilahi, sebuah "dosa ekologis" yang memiliki konsekuensi spiritual dan material. Konsep ini secara fundamental menantang pandangan antroposentrisme radikal yang seringkali menjadi akar krisis lingkungan.

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Sila ini diinterpretasikan melalui lensa ecoteologi sebagai panggilan untuk keadilan ekologis (environmental justice). Konsep ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak fundamental untuk hidup di lingkungan yang bersih, sehat, dan lestari, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau etnisnya. Ecoteologi menuntut agar dampak negatif dari degradasi lingkungan, seperti polusi industri, bencana alam akibat perubahan iklim, atau hilangnya akses terhadap sumber daya alam, tidak secara tidak proporsional membebani kelompok rentan. Sebagai contoh, masyarakat adat seringkali menjadi korban pertama deforestasi atau pembangunan yang tidak berkelanjutan, padahal mereka memiliki kearifan lokal yang kaya dalam menjaga keseimbangan alam. Keadilan ekologis juga menyoroti keadilan intergenerasi, yaitu hak generasi mendatang untuk menikmati lingkungan yang tidak rusak. Dengan demikian, sila ini mengarahkan pada advokasi hak-hak komunitas yang terpinggirkan, pemberdayaan mereka dalam pengelolaan lingkungan, dan penegakan hukum yang adil terhadap pelaku perusakan lingkungan yang menyebabkan penderitaan bagi sesama manusia.

Sila Persatuan Indonesia: Dalam konteks ecoteologi, sila ini menjadi motor penggerak solidaritas ekologis (ecological solidarity) yang melampaui batas-batas suku, agama, dan geografis. Krisis iklim adalah ancaman universal yang tidak mengenal sekat, dan oleh karenanya menuntut respons kolektif yang terkoordinasi. Ecoteologi menyatukan umat beragama---Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, serta kepercayaan lokal---dalam satu tujuan bersama: melestarikan alam sebagai rumah bersama. Contoh-contoh program penanaman pohon lintas agama, gerakan bersih sungai yang melibatkan berbagai komunitas, atau upaya mitigasi bencana yang menggabungkan kekuatan sosial dan spiritual dari seluruh elemen masyarakat, adalah manifestasi konkret dari solidaritas ini. Ketika menghadapi bencana seperti banjir atau kebakaran hutan, semangat gotong royong yang berakar pada nilai-nilai Pancasila dan diperkuat oleh panggilan spiritual ecoteologi menjadi perekat fundamental yang mengukuhkan persatuan bangsa. Ini sejalan dengan visi "Pancasila Perekat Bangsa" 2025, yang menggarisbawahi bahwa ancaman lingkungan justru dapat menjadi katalisator bagi persatuan yang lebih kuat.

Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Interpretasi sila ini melalui lensa ecoteologi menyoroti pentingnya demokrasi ekologis (ecological democracy). Artinya, proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam harus transparan, partisipatif, dan mendengarkan berbagai suara, terutama dari komunitas lokal dan pemegang kearifan tradisional. Ecoteologi mengadvokasi pendekatan musyawarah mufakat yang melibatkan tidak hanya para pemangku kepentingan ekonomi dan politik, tetapi juga pakar lingkungan, tokoh agama, dan masyarakat adat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ekosistem lokal. Keputusan mengenai pemanfaatan hutan, perizinan pertambangan, atau pembangunan infrastruktur besar harus didasarkan pada "hikmat kebijaksanaan" yang mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang dan keberlanjutan, bukan hanya keuntungan ekonomi sesaat. Suara rakyat, termasuk "suara" alam melalui kearifan lokal seperti Sasi di Maluku atau Awig-awig di Bali, harus menjadi penentu arah kebijakan lingkungan yang adil dan berkelanjutan, memastikan bahwa setiap kebijakan adalah refleksi dari kehendak kolektif untuk harmoni dengan alam.

Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Dalam kerangka ecoteologi, sila ini menuntut keadilan transgenerasional (intergenerational justice) dan distribusi sumber daya yang adil. Keadilan sosial tidak lagi semata-mata tentang distribusi kekayaan dan kesempatan ekonomi di antara individu atau kelompok dalam satu generasi, tetapi juga mencakup tanggung jawab kita terhadap generasi mendatang. Ecoteologi menyoroti bahwa pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan saat ini merampas hak generasi mendatang untuk menikmati sumber daya alam yang lestari. Oleh karena itu, keadilan sosial menuntut pertanggungjawaban dari korporasi dan individu yang menyebabkan kerusakan lingkungan, serta perlindungan bagi korban. Solusi lingkungan tidak bisa dipisahkan dari solusi keadilan sosial; kebijakan hijau harus dirancang untuk mengurangi ketimpangan, bukan memperparah. Ini termasuk memastikan akses yang setara terhadap air bersih, udara sehat, dan sumber daya alam yang lestari bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sebagian kecil elit, dan mengimplementasikan mekanisme restorasi bagi komunitas yang telah terdampak parah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun