Mohon tunggu...
Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini Mohon Tunggu... Dosen

Membaca dan menulis adalah Dua sisi dari satu koin: membaca memperkaya wawasan, sementara menulis mengolah dan menyampaikan wawasan tersebut. Keduanya membangun dialog tak berujung antara pikiran dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masa Depan Gajah Sumatera dan Konservasi di Sumatera Selatan

27 September 2025   05:00 Diperbarui: 27 September 2025   04:46 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selamat Hari Gajah Sedunia

Para Narasumber dalam Seminar gajah Sedunia di FST UIN Raden Fatah Palembang
Para Narasumber dalam Seminar gajah Sedunia di FST UIN Raden Fatah Palembang
Pendahuluan

Artikel ini bermula dari laporan panitia seminar mengenai gajah yang digelar dalam rangka memperingati Hari Gajah Sedunia di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang, sebagai bagian dari acara tahunan Saintek Expo. Melihat betapa rapuhnya habitat gajah, terutama di Sumatera Selatan, hal ini memicu keinginan untuk membahas prospek masa depan gajah di masa mendatang.

Konservasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan isu krusial mengingat statusnya sebagai spesies terancam punah. Fragmentasi habitat, konflik manusia-gajah, dan perburuan ilegal terus menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup populasi gajah ini. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pidato Presiden Prabowo Subianto yang berkaitan dengan lingkungan, konservasi, dan pembangunan berkelanjutan, serta relevansinya dengan masa depan Gajah Sumatera dalam satu dekade mendatang, khususnya di wilayah Sumatera Selatan. Urgensi pelestarian Gajah Sumatera tidak hanya terletak pada nilai ekologisnya sebagai penjaga ekosistem hutan, tetapi juga pada warisan alam Indonesia yang tak ternilai harganya.

Mengintip Pidato Presiden Prabowo

Presiden Prabowo Subianto telah beberapa kali menyampaikan komitmennya terhadap isu lingkungan dan konservasi. Beliau menekankan pentingnya menjaga sumber daya alam sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional dan mendorong perencanaan pembangunan yang berbasis ekonomi Pancasila untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dalam pidatonya di Sidang PBB, Prabowo juga menegaskan isu perubahan iklim adalah nyata dan menyatakan komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals), termasuk konservasi ekosistem daratan dan lautan. Secara spesifik mengenai konservasi satwa liar, Presiden Prabowo menyatakan komitmennya untuk melestarikan hutan dan melindungi satwa liar, serta memobilisasi pendanaan untuk mendukung ekosistem dan spesies unik di Indonesia. Beliau secara terbuka mengungkapkan kecintaannya pada gajah dan menyoroti kondisi populasi gajah di Sumatera yang memprihatinkan. Sebagai bentuk dukungan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia juga menegaskan komitmen untuk memperkuat koridor Gajah Sumatera sebagai wujud nyata arahan Presiden dalam menyelamatkan populasi gajah. Salah satu tindakan konkret yang disebutkan adalah penyerahan 90.000 hektare dari 98.000 hektare lahan miliknya di Takengon, Aceh, untuk dijadikan tempat konservasi Gajah. Kebijakan terkait lahan konservasi ini diapresiasi sebagai wujud nyata komitmen Indonesia dalam perlindungan satwa liar. Jika lahan tersebut dihutankan kembali dan dilindungi secara kuat, area seluas itu dapat berfungsi sebagai koridor habitat bagi Gajah Sumatera yang terancam punah. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen pada pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang ramah lingkungan, pengembangan energi terbarukan, dan pengelolaan sumber daya air yang efektif. Meskipun demikian, terdapat skeptisisme apakah pelepasan kawasan ini hanya gestur simbolis atau mencerminkan pergeseran struktural yang lebih dalam terhadap akuntabilitas dan restorasi ekologi.

Kondisi Konservasi Gajah Sumatera di Sumatera Selatan

Sumatera Selatan merupakan salah satu habitat penting bagi Gajah Sumatera, namun populasi di wilayah ini terus menghadapi ancaman serius. Fragmentasi habitat akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri telah menyebabkan hilangnya koridor migrasi alami gajah dan memaksa mereka masuk ke permukiman manusia, memicu konflik manusia-gajah. Perburuan untuk diambil gadingnya juga masih menjadi ancaman, meskipun upaya penegakan hukum telah dilakukan. Upaya konservasi di Sumatera Selatan mencakup beberapa inisiatif, seperti patroli anti-perburuan, mitigasi konflik, dan restorasi habitat di kantong-kantong gajah yang tersisa. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerintah daerah bekerja sama dalam program pemantauan populasi, pendidikan masyarakat, serta pembangunan koridor satwa liar. Namun, koordinasi yang lebih kuat dan pendanaan yang berkelanjutan masih menjadi tantangan utama dalam mencapai target konservasi yang efektif.

Proyeksi Masa Depan Gajah Sumatera dalam 10 Tahun ke Depan

Berdasarkan komitmen yang disampaikan oleh Presiden Prabowo, masa depan Gajah Sumatera di Sumatera Selatan dalam 10 tahun ke depan memiliki potensi untuk membaik, namun dengan catatan. Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan dan komitmen terhadap lingkungan, seperti yang tercantum dalam pidato Presiden, dapat menjadi landasan kuat untuk memperkuat upaya konservasi. Jika rencana penyerahan lahan untuk konservasi di Aceh dapat direplikasi di wilayah lain yang menjadi habitat gajah, termasuk Sumatera Selatan, maka koridor habitat gajah dapat diperluas dan fragmentasi dapat diminimalisir. Namun, keberlanjutan upaya konservasi sangat bergantung pada implementasi kebijakan yang konsisten dan pengawasan yang ketat. Tantangan seperti laju deforestasi, konflik manusia-gajah, dan perburuan ilegal memerlukan solusi jangka panjang yang melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat lokal, hingga sektor swasta. Integrasi program konservasi dengan pembangunan infrastruktur dan ekonomi yang berkelanjutan akan menjadi kunci. Pemerintah juga mendorong pemanfaatan skema pembiayaan alternatif seperti Green Bonds dan Blended Finance sebagai solusi pembiayaan berkelanjutan. Jika komitmen yang disampaikan diterjemahkan menjadi tindakan nyata dan terukur di lapangan, termasuk di Sumatera Selatan, maka populasi Gajah Sumatera memiliki peluang lebih besar untuk stabil dan bahkan meningkat dalam satu dekade mendatang. Sebaliknya, jika komitmen tersebut hanya menjadi gestur simbolis, tanpa diikuti oleh perubahan struktural yang mendalam, ancaman terhadap Gajah Sumatera akan tetap tinggi.

Tantangan Implementasi Kebijakan Konservasi

Meskipun komitmen Presiden Prabowo melalui penguatan koridor habitat dan pelepasan lahan konservasi menjanjikan, tantangan implementasi di lapangan tetap menjadi hambatan utama bagi Gajah Sumatera di Sumatera Selatan. Konflik manusia-gajah akibat perubahan fungsi lahan dan hilangnya habitat alami, seperti yang disoroti oleh WWF Indonesia, sering kali memicu kerusakan perkebunan dan ancaman perburuan ilegal. Di wilayah ini, fragmentasi habitat telah menyusut hingga 80% di luar kawasan konservasi, terutama akibat ekspansi hutan tanaman industri dan sawit, yang berpotensi memicu konflik baru jika restorasi tidak dilakukan secara berkelanjutan. Tanpa pendekatan struktural seperti verifikasi asal usul lahan dan pengawasan ketat, inisiatif seperti penyerahan 90.000 hektare di Aceh berisiko menjadi gestur simbolis, yang justru memperbesar tekanan ekosistem dalam satu dekade mendatang. Studi kasus keberhasilan di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Lampung, yang berdekatan dengan Sumatera Selatan, menunjukkan potensi replikasi untuk masa depan Gajah Sumatera. Di TNWK, program Pusat Konservasi Gajah (PKG) telah berhasil merehabilitasi dan melatih gajah yang terlibat konflik, dengan populasi mencapai 62 ekor per Agustus 2025, termasuk kelahiran baru yang menandakan pemulihan. Upaya ini, didukung oleh pemantauan GPS dan keterlibatan masyarakat lokal, telah mengurangi konflik hingga 35% dalam dua dekade terakhir, meskipun populasi keseluruhan turun menjadi sekitar 1.724 individu. Jika model ini diadopsi di Sumatera Selatan, seperti di kantong habitat Ogan Komering Ilir dengan 200 individu, integrasi restorasi habitat dan pencegahan inbreeding melalui aliran genetik dapat menstabilkan populasi dalam 10 tahun, selaras dengan arahan Presiden Prabowo untuk ekosistem daratan berkelanjutan.

Pembiayaan inovatif seperti Green Bonds dan Blended Finance dapat menjadi katalisator utama untuk konservasi Gajah Sumatera di Sumatera Selatan, sebagaimana didorong dalam pidato Presiden Prabowo tentang pembangunan berkelanjutan. Kerangka Blended Finance, yang menggabungkan dana publik dan swasta, telah terbukti efektif dalam mendanai restorasi habitat dan mitigasi konflik, dengan potensi mengurangi deforestasi yang menyumbang 80% penurunan kantong habitat. Di Indonesia, inisiatif ini dapat mendukung program seperti pengayaan pakan gajah dan pembangunan koridor, mirip dengan proyek Hutama Karya yang menyiapkan 7.000 bibit pohon pakan alami untuk meminimalisir konflik. Dalam 10 tahun ke depan, pemanfaatan instrumen ini berpotensi menarik investasi hingga miliaran rupiah, memastikan keberlanjutan program tanpa bergantung sepenuhnya pada anggaran negara, dan mendukung target Sustainable Development Goals yang ditekankan Presiden.

Partisipasi masyarakat lokal di Sumatera Selatan, dikombinasikan dengan kolaborasi swasta, akan menjadi kunci keberhasilan proyeksi masa depan Gajah Sumatera, sejalan dengan prinsip mutual trust dan benefit yang direkomendasikan para ahli. Di Kabupaten Ogan Komering Ilir, masyarakat telah menunjukkan kesadaran tinggi terhadap peran gajah sebagai penjaga ekosistem rawa gambut, meskipun konflik tetap tinggi akibat habitat terbatas; program seperti Elephant Response Unit (ERU) dan pemantauan GPS telah mengurangi insiden dengan melibatkan desa penyangga. Kolaborasi swasta, seperti inisiatif Belantara Foundation yang membangun menara pantau di OKI, telah berhasil memitigasi konflik melalui kemitraan dengan pemerintah dan LSM. Dalam satu dekade, penguatan model Pentahelix---melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, dan media---dapat mereplikasi keberhasilan proyek Peusangan di Aceh, memastikan habitat gajah di Sumatera Selatan terlindungi sambil memberdayakan ekonomi lokal. Penambahan ini membuat artikel lebih komprehensif. 

Peran Pemerintah dalam Penguatan Kebijakan dan Pengelolaan Habitat

Pemerintah, sebagai pemangku kebijakan utama, harus memperkuat implementasi arahan Presiden Prabowo melalui pengelolaan koridor gajah di 22 lanskap kunci Sumatera, termasuk Sumatera Selatan, dengan target memperbaiki habitat dan menurunkan konflik manusia-gajah hingga 50% dalam satu dekade. Langkah konkret meliputi alokasi lahan konservasi seperti 20 ribu hektare di Aceh yang dapat direplikasi di wilayah Ogan Komering Ilir, serta pemberdayaan Kelompok Tani Hutan melalui skema perhutanan sosial untuk memastikan keberlanjutan. Selain itu, pemerintah perlu memobilisasi pendanaan inovatif seperti Green Bonds untuk restorasi habitat dan penegakan hukum anti-perburuan, sejalan dengan komitmen melestarikan hutan dan satwa liar yang disampaikan Presiden, guna menghentikan penurunan populasi gajah yang mencapai 69% habitat potensial dalam 25 tahun terakhir.

Akademisi berperan krusial dalam menyediakan data ilmiah untuk mendukung konservasi berkelanjutan, seperti melalui penelitian keragaman genetik gajah Sumatera di Sumatera Selatan untuk mencegah inbreeding dan penyakit yang mengancam populasi kecil. Universitas seperti UGM dan Universitas Sriwijaya harus memperluas studi habitat, preferensi pakan, dan pergerakan spasial gajah menggunakan teknologi GPS, serta mengembangkan modul pendidikan berbasis e-learning untuk meningkatkan kesadaran. Kolaborasi dengan Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) dapat menghasilkan strategi adaptif, termasuk analisis daya dukung habitat di Taman Nasional Sembilang, untuk memastikan populasi pulih hingga target 2029, sambil menyelaraskan dengan pembangunan berkelanjutan yang ditekankan Presiden Prabowo.

Masyarakat lokal di Sumatera Selatan, terutama di desa penyangga seperti Ogan Komering Ilir, harus dilibatkan aktif melalui program seperti Elephant Response Unit (ERU) dan penanaman pohon endemik untuk restorasi habitat, yang dapat mengurangi konflik hingga 35% seperti di Taman Nasional Way Kambas. Dengan memanfaatkan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan rawa gambut, masyarakat dapat menjadi mitra utama dalam pemantauan dan pencegahan perburuan, sambil mendapatkan manfaat ekonomi dari ekowisata dan perhutanan sosial. Pendekatan ini, yang selaras dengan komitmen Presiden untuk keterlibatan masyarakat, akan membangun rasa kepemilikan dan keberlanjutan, memastikan gajah Sumatera tidak hanya bertahan tetapi juga berkontribusi pada keseimbangan ekosistem lokal.

Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat melalui model Pentahelix---termasuk swasta dan LSM---adalah kunci untuk pelestarian gajah Sumatera yang berkelanjutan di Sumatera Selatan, dengan fokus pada integrasi konservasi ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk menghindari fragmentasi habitat akibat infrastruktur. Inisiatif seperti Tropical Forest Conservation Action (TFCA-Sumatera) dapat diperkuat dengan riset akademis untuk restorasi mangrove dan rawa gambut, sementara masyarakat dilatih sebagai ranger lokal, didukung pendanaan pemerintah. Dengan mengadopsi strategi ini, yang mencerminkan visi Presiden Prabowo untuk pembangunan inklusif, populasi gajah dapat stabil dan bahkan meningkat dalam 10 tahun, menjadikan Sumatera Selatan sebagai model konservasi nasional. Penambahan ini memperkaya proyeksi artikel dengan rekomendasi actionable. 

Masa Depan Gajah Sumatera di Ujung Tanduk, Tapi Penuh Harapan

Pelestarian Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) bukan hanya tanggung jawab nasional, melainkan warisan budaya dan ekologis yang mencerminkan marwah bangsa Indonesia, sebagaimana digambarkan dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya yang bangga dengan ribuan gajah di Sumatera Selatan. Pidato dan komitmen Presiden Prabowo Subianto, termasuk penyerahan lahan hingga 90.000 hektare di Aceh untuk koridor habitat serta penguatan 22 lanskap kunci di Sumatera, menjadi titik terang di tengah ancaman fragmentasi habitat yang telah menyusut hingga 80% di luar kawasan konservasi, terutama di Sumatera Selatan seperti Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dengan populasi sekitar 200 individu. Namun, populasi yang kini tersisa di bawah 1.000 ekor di alam liar---dari estimasi 2.800-4.800 pada 1980-an---menunjukkan urgensi aksi segera, di mana konflik manusia-gajah dan perburuan gading terus menggerus kelangsungan spesies ini yang berstatus Critically Endangered menurut IUCN. Dalam satu dekade ke depan, masa depan Gajah Sumatera di Sumatera Selatan bergantung pada implementasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) 2019-2029, yang menekankan restorasi habitat melalui penanaman pakan alami, pemantauan geospasial, dan pemberdayaan masyarakat di desa penyangga seperti Tanjung Kemala dan Perigi Talangnangka, di mana warga lokal historically hidup rukun dengan gajah tanpa tradisi perburuan. Upaya pemerintah seperti penguatan koridor melalui agroforestry ramah gajah (dengan komoditas kopi, kakao, dan durian) dan mobilisasi Green Bonds harus dikolaborasikan dengan akademisi untuk riset genetik mencegah inbreeding, serta masyarakat untuk mitigasi konflik via Elephant Response Unit, sebagaimana sukses di Taman Nasional Way Kambas. Tanpa kolaborasi lintas sektor ini, termasuk peran swasta dan LSM seperti WWF, ancaman konversi lahan perkebunan sawit akan mempercepat kepunahan, mengingatkan kita pada Operasi Ganesha 1982 yang gagal memindahkan 242 gajah dari OKI.

Pada akhirnya, Gajah Sumatera bukan sekadar satwa liar, melainkan penjaga ekosistem hutan tropis yang mendukung keanekaragaman hayati dan keseimbangan rawa gambut di Sumatera Selatan, wilayah yang dulunya menjadi negeri ribuan gajah. Komitmen Presiden Prabowo untuk pembangunan berkelanjutan, selaras dengan Sustainable Development Goals, harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata: dari penegakan hukum anti-perburuan hingga edukasi bioakustik untuk pemantauan non-invasif, membangun kepercayaan antara manusia dan alam. Dengan gerakan kolektif ini, kita bisa membalikkan tren penurunan populasi 35% sejak 1992 dan memastikan gajah tetap menggema di hutan hingga generasi mendatang. Mari jaga suara hutan, demi masa depan yang lestari---karena menyelamatkan gajah berarti menyelamatkan diri kita sendiri.

Penyerahan Kaos Memperingati Hari Gajah Sedunia
Penyerahan Kaos Memperingati Hari Gajah Sedunia
Action dan Antusiasme para Narasimber Seminar Gajah Seduniadi FST UIN Raden Fatah Palembang
Action dan Antusiasme para Narasimber Seminar Gajah Seduniadi FST UIN Raden Fatah Palembang
Gajah Sumatera Selatan dalam Gambar
Gajah Sumatera Selatan dalam Gambar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun