Mohon tunggu...
Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini Mohon Tunggu... Dosen

Membaca dan menulis adalah Dua sisi dari satu koin: membaca memperkaya wawasan, sementara menulis mengolah dan menyampaikan wawasan tersebut. Keduanya membangun dialog tak berujung antara pikiran dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perjuangan di Tengah Deru Hujan, TOT dan Doa Untuk Ananda Najwa

23 Agustus 2025   18:18 Diperbarui: 23 Agustus 2025   21:42 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Luring dan daring TOT  Calon Pengajar PIP Kualifikasi Madya diselenggarakan BPIP 

Upacara Penutupan TOT dan sambutan disampaikan oleh Pak Yakob salah satu Direktur di BPIP
Upacara Penutupan TOT dan sambutan disampaikan oleh Pak Yakob salah satu Direktur di BPIP
Peserta TOT Daring di rumah dan kantor masing-masing
Peserta TOT Daring di rumah dan kantor masing-masing
Hidup sering kali mempertemukan kita pada momen-momen yang tak pernah diduga. Ada kalanya tawa hadir, ada kalanya air mata, dan ada pula masa di mana keduanya berjalan beriringan. Begitulah pengalaman saya ketika mengikuti TOT Calon Pengajar PIP Kualifikasi Madya yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) secara hybrid pada 19--23 Agustus 2025. TOT ini diikuti oleh 200 peserta dari Sabang sampai Merauke. Sebanyak 170 peserta mengikuti secara daring, sementara 30 orang hadir langsung (luring). Peserta berasal dari berbagai latar belakang: TNI aktif, polisi, akademisi, guru, pensiunan, hingga perwakilan dari instansi pemerintah daerah. Semua berkumpul dengan satu semangat: menjadi pengajar Pancasila yang berkomitmen menjaga persatuan bangsa. Para widyaswara dari BPIP yang menjadi narasumber pun luar biasa. Materi, diskusi, dan praktik yang disampaikan begitu membuka wawasan serta memberi energi baru dalam memahami nilai-nilai luhur Pancasila. Namun, perjalanan saya mengikuti TOT kali ini penuh dengan cerita unik sekaligus penuh ujian. TOT ini tidak hanya menjadi ajang pelatihan, tetapi juga ruang pertemuan ide, pengalaman, dan semangat dari berbagai penjuru negeri. Interaksi antarpeserta terasa begitu hangat, seakan kami sedang duduk dalam satu rumah besar bernama Indonesia. Perbedaan latar belakang justru memperkuat rasa kebersamaan, menunjukkan bahwa semangat Pancasila benar-benar hidup di tengah keberagaman. Selain itu, suasana belajar yang tercipta begitu dinamis. Setiap peserta memiliki cerita dan motivasi masing-masing dalam mengikuti TOT. Ada yang datang dengan semangat baru setelah pensiun, ada pula yang masih aktif berdinas namun ingin menambah wawasan kebangsaan. Semua terjalin dalam bingkai pembelajaran yang tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga memperkaya makna hidup.

Hujan Deras, Listrik Padam, dan LMS yang Tetap Menyala

Hari terakhir, ketika sedang mengisi survei, cuaca di luar mendadak berubah. Angin kencang bertiup, langit gelap, lalu hujan deras mengguyur. Saya langsung teringat: sebentar lagi listrik dan internet pasti padam. Benar saja, lima menit setelah post-test berjalan, listrik pun mati. Untungnya, saya sudah siap. Laptop langsung saya hidupkan, jaringan saya alihkan ke pulsa HP, dan aplikasi LMS bisa kembali terbuka. Meski penuh perjuangan, semangat mengikuti TOT tidak boleh padam meski lampu sudah padam. Rasanya benar-benar seperti ujian kesabaran. Di tengah suara hujan deras dan angin kencang, saya tetap fokus menatap layar laptop yang sesekali terguncang sinyalnya. Situasi itu membuat saya tersadar bahwa semangat belajar tidak selalu hadir dalam kenyamanan, justru sering kali lahir dari kondisi yang serba terbatas. Dan di situlah makna sejati dari perjuangan mengikuti TOT ini terasa begitu nyata.

Pretest yang Dikejar Waktu di Rumah Sakit

Hari pertama, tantangan lebih besar datang. Anak saya, Najwa Lailatul Mu'jizah, yang sejak lama berjuang melawan sakit Lupus dan komplikasi ginjal, harus masuk ruang HCU di Rumah Sakit Siti Fatimah Palembang pada Selasa sore. Saat pretest sedang berlangsung, saya dipanggil dokter untuk mendampingi Najwa. Begitu kembali, waktu tersisa hanya 4 menit. Dengan terburu-buru saya hanya sempat mengisi lima soal sebelum waktu habis. Meski terbatas, hati saya lebih banyak tertambat pada putri tercinta yang sedang berjuang di ruang perawatan. TOT tetap saya ikuti, tapi doa untuk Najwa terus terucap di sela-sela materi. Situasi itu membuat saya benar-benar berada pada pilihan sulit: antara kewajiban akademik untuk menyelesaikan pretest dan tanggung jawab moral sebagai seorang ayah yang harus mendampingi anak di ruang perawatan intensif. Dalam hitungan menit, saya merasakan betapa rapuhnya waktu ketika dihadapkan pada kondisi darurat. Sisa empat menit yang ada tidak cukup untuk menunjukkan kemampuan saya sepenuhnya, namun saat itu yang terpenting adalah memastikan Najwa tidak sendirian menghadapi rasa sakitnya. Di ruang HCU, suara alat medis dan langkah para perawat silih berganti mengingatkan saya bahwa perjuangan anak saya jauh lebih besar daripada sekadar mengisi soal pretest. Najwa, dengan tubuh ringkihnya, tetap berusaha tersenyum ketika saya datang menghampirinya. Senyum itu seakan menjadi energi baru yang membuat saya yakin bahwa meski hanya mampu menjawab lima soal, saya sudah melewati ujian yang sesungguhnya: ujian hati dan kesabaran. Sejak saat itu, setiap materi TOT yang saya ikuti tidak hanya sekadar menamba pengetahuan, tetapi juga menjadi refleksi hidup. Saya merasa nilai-nilai Pancasila yang sering kami diskusikan menemukan relevansinya di sana---khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Saya belajar bahwa ilmu dan profesi memang penting, tetapi kasih sayang dan doa untuk keluarga adalah pondasi yang tidak boleh terabaikan.

Antara Kampus, Rumah Sakit, dan Layar TOT

Hari kedua dan ketiga, ritme semakin padat. Pagi hingga siang saya berada di kampus, sementara sore hingga malam menjaga Najwa di rumah sakit. Di tengah situasi itu, TOT tetap saya ikuti dengan serius. Kadang, kamera saya tidak aktif karena kondisi di rumah sakit, sehingga sempat beberapa kali saya di-screenshot oleh panitia. Tapi bukan berarti saya abai. Justru dalam kondisi itu, saya belajar bagaimana menyeimbangkan peran sebagai ayah, pendidik, sekaligus peserta yang berkomitmen. Tidak jarang saya mengikuti materi TOT sambil duduk di kursi rumah sakit, dengan suara monitor detak jantung Najwa sebagai latar belakang. Sesekali saya harus menghentikan catatan atau mematikan mikrofon untuk membantu kebutuhan putri saya. Momen itu mengajarkan saya bahwa teknologi memang memudahkan, tetapi hati dan perhatian seorang ayah tetap tak bisa digantikan oleh layar. Dalam kesibukan yang tumpang tindih antara dunia akademik, keluarga, dan pelatihan, saya menemukan arti sebenarnya dari disiplin dan tanggung jawab. TOT bukan lagi sekadar program peningkatan kompetensi, tetapi menjadi ajang pembuktian bahwa dedikasi bisa tetap terjaga meski dalam kondisi yang penuh keterbatasan. Setiap klik pada LMS, setiap catatan kecil yang saya buat, adalah simbol kesungguhan saya untuk terus belajar tanpa melupakan peran utama di sisi keluarga.

Micro Teaching dan Rencana Riset ke Turki

Karena kondisi ananda Najwa, saya sempat meminta izin untuk didahulukan dalam praktik micro teaching. Alhamdulillah, teman-teman peserta bisa memahami. Sejatinya, setelah TOT ini saya dijadwalkan berangkat ke Turki untuk melaksanakan riset. Tiket dan penginapan sudah siap. Namun, jika kondisi Najwa belum stabil, tentu keberangkatan itu akan saya tunda. Bagaimanapun, doa dan perhatian untuk anak lebih utama dibandingkan kesempatan ke luar negeri. Pengalaman micro teaching itu sendiri menjadi kenangan berharga. Meski pikiran saya terbagi antara kelas daring dan kondisi ananda Najwa di rumah sakit, saya berusaha menampilkan yang terbaik. Dukungan dari para fasilitator dan peserta lain membuat suasana lebih hangat, seolah semua memahami bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang akademik, tetapi juga tentang kemanusiaan. Dari sana saya belajar bahwa kekompakan dan empati adalah nilai penting yang sejalan dengan semangat Pancasila. Rencana riset ke Turki tentu menjadi kesempatan besar dalam perjalanan akademik saya. Namun, di hadapan sakitnya seorang anak, saya semakin yakin bahwa ilmu dan karier bisa menunggu, sementara kasih sayang orang tua tidak boleh tertunda. Bahkan jika keberangkatan itu harus ditunda, saya percaya akan ada hikmah yang Allah siapkan. Doa dan harapan saya, semoga kelak ananda Najwa bisa melihat ayahnya menuntaskan riset dengan senyum sehatnya kembali.

Doa dan Harapan

TOT kali ini memberi saya bukan hanya ilmu, tetapi juga kenangan mendalam. Bagaimana perjuangan tetap belajar di tengah keterbatasan, bagaimana Pancasila mengajarkan arti gotong royong dan kebersamaan, serta bagaimana saya semakin yakin bahwa setiap perjuangan akan berbuah kebaikan jika disertai doa dan keikhlasan. Kepada rekan-rekan semua, saya mohon doa terbaik untuk kesembuhan Ananda Najwa Lailatul Mu'jizah. Semoga Allah memberi kekuatan, kesembuhan, dan menjadikannya pribadi yang tegar. Saya menyadari bahwa perjalanan mengikuti TOT ini bukan sekadar proses belajar formal, melainkan juga perjalanan batin. Setiap materi tentang Pancasila terasa lebih hidup karena saya mengalaminya langsung: semangat persatuan ketika teman-teman saling mendukung, nilai kemanusiaan saat menghadapi ujian keluarga, serta keadilan ketika semua diberi kesempatan yang sama untuk berproses sesuai kemampuan masing-masing. Ujian yang saya hadapi selama TOT membuat saya semakin yakin bahwa kebersamaan adalah kekuatan. Dukungan rekan-rekan peserta, para fasilitator, hingga panitia menjadi penguat di saat saya hampir kehilangan tenaga. Dari sini saya belajar bahwa gotong royong bukan hanya konsep dalam buku, melainkan nyata terasa dalam kehidupan, bahkan dalam sebuah forum pelatihan yang dilakukan secara hybrid. Akhirnya, saya berharap semoga kisah ini bisa menjadi pengingat bahwa di balik setiap kesulitan pasti ada hikmah. Semoga gadis kecilku Najwa segera diberi kesembuhan, dan semoga saya serta teman-teman semua terus diberi kekuatan untuk menyalakan semangat Pancasila di lingkungan masing-masing. Karena sejatinya, ilmu yang kita dapat bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk memberi manfaat yang lebih luas bagi bangsa dan generasi yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun