Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Memangsa dan Dimangsa

4 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 4 Februari 2021   08:00 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita sedang berada dalam komidi putar raksasa | Ilustrasi oleh Gerd Altmann via Pixabay

Langit sedikit mendung memayungi Ayya yang tengah termenung di taman rumah. Dalam duduknya di kursi kayu kuno itu, matanya memandang resah langit sore. Baru saja ia pulang dari rumah sakit, tapi malah disambut dengan awan-awan gelap yang siap meledak kapan saja bersama guntur. Atau petir-petir adalah petasan penyambut kepulangan Ayya? 

Sebenarnya tidak terlalu menyenangkan bisa pulang ke rumah, karena 5 hari lagi Ayya akan menjalani operasi atas penyakit tumor langka yang dideranya.

Di sisi lain, Ayya sama sekali tak takut dengan operasi itu. Ah, sepele, yakinnya. Hanya saja, kalau operasi itu gagal, ia pasti akan pergi untuk selamanya. 

Dokter bilang, kemungkinan operasi itu berhasil adalah 50/50. Artinya, hidup dan mati Ayya seperti dua sisi koin yang dilempar. Ini bagaikan permainan lotre yang akbar. Bagaimana mungkin seseorang menjalani hidup dengan tahu kapan dirinya akan mati?

Jika ia tumbuh di taman ini tanpa mengetahui sesuatu pun, bagaimana perasaannya? Apakah ia akan berusaha mencari semacam penjelasan mengapa hujan turun pada suatu malam? Apakah ia akan menciptakan fantasi untuk menjelaskan ke mana daun-daun terbang dan mengapa matahari terbit pada pagi hari?

Suara riuhan angin menusuk telinga Ayya yang sepi. Bersamaan itu pula, banyak helaian rambutnya yang terbang bersama angin. Ayya tahu bahwa ia harus segera bercukur, tapi rasanya cukup berat untuk menghilangkan mahkota hitamnya.

Burung elang tampak sedang terbang dengan gagahnya di langit yang redup. Apakah ia juga melihat Ayya? Apakah ia dapat mengerti suasana hati Ayya hanya dengan melihat wajahnya? Tapi, burung itu seperti sedang membawa sesuatu yang meliuk-liuk di kakinya. Seekor ular! Memang tampak samar-samar, tapi Ayya meyakininya. 

Kalau dipikir-pikir, ular itu sama terjebaknya seperti Ayya. Kematian ada di hadapannya, dan satu-satunya cara untuk selamat, adalah dengan berjuang. Kemungkinannya tetap saja sama, 50/50.

"Begitulah kehidupan, Ayya," kata Agathias yang tiba-tiba muncul mendekati Ayya.

"Apakah itu adil?" tanya Ayya yang menggeserkan posisi duduknya agar Agathias bisa duduk bersamanya.

"Hidup adalah panggung sandiwara akbar di mana para tokoh saling membunuh." Agathias duduk, lalu melepaskan jaketnya untuk diberikan pada Ayya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun