Angsa-angsa itu tampak menikmati pelayarannya di tengah-tengah danau. Bulunya yang putih menipu mata. Mereka seperti melayang. Paruhnya yang merah bagaikan simbol cinta di hamparan kolam susu. Dua angsa dari sekian banyaknya sesekali bersatu-padu membentuk hati dengan lehernya; itu simbol cinta yang suci, pikir Anna.
Angin begitu senang menampar para pepohonan. Tapi karena itulah pepohonan terlihat hidup. Atau mungkin pembawa "kematian"? Terkadang, angin juga menggugurkan daun-daun itu. Barangkali ia adalah malaikat kehidupan; juga kematian.
"Beginilah sedikit kedamaian, Sayang," ungkap Ayah.
Anna hanya mengangguk, memantapkan pandangannya ke tengah danau yang kosong.
"Lihat pohon tabebuya itu! Ia sedang mempertahankan daun-daunnya dari sapuan angin."
"Daun-daun itu terlalu indah untuk pergi. Mengapa angin begitu kejam?" tanya haru Anna tentang pohon tabebuya di seberang danau separuh lapangan bola itu.
"Angin tidak kejam, Anna. Ia hanya menjalankan skenario dari Sang Sutradara."
"Ah, daun-daun pink itu terlalu manis untuk berguguran!"
"Begitulah kehidupan! Segala sesuatunya muncul dan lenyap. Seindah apa pun itu, semuanya rapuh dan tak abadi. Kata 'abadi' tercipta hanya untuk Tuhan."
"Aku tahu. Bukankah itu cukup menyebalkan?"
"Kamu boleh bertanya kepada malaikat."