Mohon tunggu...
Muhammad Hanafi
Muhammad Hanafi Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat

Geografi

Selanjutnya

Tutup

Cryptocurrency

Memahami Revolusi Blockchain: Fondasi Kepercayaan di Era Digital

7 September 2025   09:30 Diperbarui: 6 September 2025   08:37 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama ini, banyak orang mengenal blockchain hanya sebatas "dunia kripto" atau identik dengan Bitcoin. Pemberitaan yang sering berfokus pada naik-turunnya harga aset digital memang membuat persepsi publik menyempit: blockchain dianggap sekadar instrumen investasi berisiko tinggi. Padahal, nilai utama teknologi ini justru jauh lebih dalam. Blockchain bukan sekadar soal uang digital, melainkan fondasi baru bagi kepercayaan digital yang tidak lagi bergantung pada otoritas terpusat.

Inti kekuatan blockchain ada pada sifatnya yang desentralisasi, transparan, aman, dan catatan datanya tidak bisa diubah (immutable). Karakteristik ini membuat blockchain punya potensi besar di berbagai sektor, mulai dari rantai pasok pangan, industri logistik, hingga sistem pemilu. Menariknya, Indonesia kini mulai mengakui potensi tersebut. Hal ini ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 yang menegaskan bahwa blockchain bukan hanya soal kripto, melainkan teknologi strategis nasional yang bisa menopang tata kelola data di masa depan.

Secara teknis, blockchain merupakan bagian dari Distributed Ledger Technology (DLT), atau teknologi buku besar terdistribusi. Bedanya dengan database biasa, setiap transaksi dalam blockchain disimpan dalam blok, lalu dihubungkan satu sama lain membentuk rantai yang terkunci secara kriptografi. Setiap perubahan akan langsung terdeteksi oleh seluruh jaringan, sehingga hampir mustahil dimanipulasi. Sistem ini pertama kali diperkenalkan lewat Bitcoin pada 2008, tetapi manfaatnya kini sudah jauh melampaui konteks mata uang digital.

Jika dibandingkan dengan database terpusat, blockchain memang lebih lambat karena setiap transaksi harus diverifikasi oleh banyak pihak. Namun, imbalannya adalah sebuah "sumber kebenaran tunggal" yang tidak bisa dikontrol oleh satu pihak saja. Itulah mengapa teknologi ini ideal untuk aplikasi yang menuntut transparansi tinggi, seperti pelacakan distribusi logistik atau keamanan rantai pasok.

Blockchain juga berkembang melalui inovasi seperti smart contracts---kode komputer yang dapat mengeksekusi perjanjian otomatis tanpa perantara. Bayangkan mesin penjual otomatis: ketika syarat terpenuhi, kontrak langsung berjalan. Dalam dunia nyata, hal ini bisa dipakai untuk pembayaran klaim asuransi atau distribusi bantuan sosial secara transparan. Namun, tentu ada tantangan regulasi, karena hukum positif di Indonesia masih menyesuaikan diri dengan mekanisme kontrak digital semacam ini.

Potensi blockchain sudah terlihat nyata dalam beberapa studi kasus. Misalnya, kerja sama antara PermataBank dan PT Chandra Asri Petrochemical yang berhasil memangkas waktu transaksi trade finance lintas batas dari hitungan hari menjadi hanya beberapa jam berkat jaringan berbasis blockchain. Di sektor lain, perusahaan teknologi lokal bahkan sudah mengembangkan sistem rantai pasok logistik berbasis blockchain untuk melacak barang secara real-time.

Namun, jalan menuju adopsi massal tidak selalu mulus. Masalah skalabilitas, konsumsi energi (terutama pada sistem Proof of Work seperti Bitcoin), serta rendahnya literasi teknologi di masyarakat masih menjadi hambatan. Solusinya adalah inovasi mekanisme baru seperti Proof of Stake yang jauh lebih hemat energi, dan penerapan solusi Layer-2 yang membuat blockchain lebih cepat tanpa mengorbankan keamanan. Di sisi lain, edukasi publik dan pembangunan infrastruktur digital tetap menjadi prasyarat penting agar manfaat teknologi ini benar-benar bisa dirasakan luas.

Dengan terbitnya PP 28/2025, Indonesia sebenarnya sudah mengambil langkah strategis. Regulasi ini memberi kepastian hukum sekaligus memisahkan aplikasi blockchain non-keuangan (seperti Web3, NFT, dan kontrak pintar) dari ranah kripto yang diawasi OJK. Ini membuka ruang inovasi lebih luas bagi startup lokal dan sektor industri yang ingin memanfaatkan blockchain untuk efisiensi dan transparansi.

Ke depan, blockchain bisa menjadi pilar utama ekonomi digital Indonesia. Dari tata kelola data publik, distribusi bantuan sosial, manajemen logistik, hingga dunia virtual Metaverse, semua berpotensi ditopang oleh teknologi ini. Jika literasi dan infrastruktur mampu mengikuti, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi salah satu pemimpin regional dalam transformasi digital berbasis kepercayaan.

Pada akhirnya, blockchain bukan sekadar tren sementara. Ia adalah revolusi dalam cara kita membangun kepercayaan di dunia digital. Sebuah peluang besar agar interaksi, transaksi, dan tata kelola data di Indonesia bisa berjalan lebih adil, transparan, dan inklusif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cryptocurrency Selengkapnya
Lihat Cryptocurrency Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun